Rabu, 02 Desember 2009

BERBAHAGIALAH


Berbahagialah  hai  jiwaku, yang  merasakan perlindungan  dari Sang  Maha tinggi  setiap  waktu, tanpa  aku  terlalu menyadarinya  dengan  lebih baik. Hari-hari  berlalu  biasa  saja  , tanpa  jasa  sedikit pun bahkan tanpa  kuminta  untuk  dijaga dan  dilindungi. Tidak  juga  karena  aku  terlalu  percaya,  tetapi  sungguh karena  KEMURAHAN  ALLAHKU  yang  kuimani dan kucintai.

Berbahagialah hai jiwaku, yang  merasakan dan mengalami  diampuni  dan dibebaskan  dari  kesalahan dan kelemahanku. Saat-saat  kelemahan  mendera  hati  bahkan  tanpa  kusadari kelemahan dan dosa  bagaikana  jerat-jerat  yang  sulit  dilepaskan, tetapi tiba-tiba  aku selalu   merasa bebas. Dari  diriku  dan  hakekat  diriku,  sungguh  tidak berdaya  untuk  keluar  dari  jerat-jerat  maut  itu, tetapi  sungguh karena  KERAHIMAN  ALLAHku  yang  kuimani  dna kucintai.

Berbahagialah  hai jiwaku,  yang  merasakan selalu  bertumbuh dan berkembang, tidak  hanya  ragaku  tetapi  juga  imanku  dan pengharapanku. Aku  yang  seharusnya layu, mati  karena  ganasnya  sengatan  sungut-sungut  maut, juga  yang  ragaku, dimakan  oleh usia, oleh penyakit  dan segala  jenis  virus  yang melumpuhkan,  aku  yang  organ-organ penting  dalam tubuh, dihinggapi  bakteri  yang  mematikan. Iman dan pengharapanku  yang  semula  tidak lebih  baik  dari  binatang-binatang  piaraanku  yang  tidak punya  akal budi  dan hati nurani, aku  yang   berani berjalan  sekian jauh  dalam kesendirian  dan  terlalu nekat  untuk  berenang  di lautan  lepas, tanpa  punya  apa-apa…. Aku  masih mendapati  diriku, masih bernapas… bernapas  dengan udara  dan   bernapas  dalam  Roh. Itu  bukan  karena  ada  sesuatu  yang  baik dari  diriku  atau karena  aku pantas  untuk mengalaminya  tetapi semata-mata  karena   KREATIVITAS  ALLAHku  yang  Maha kuasa, yang  berkuasa  membiarkan  aku  berjalan sendiri  dan punya  kuasa besar  untuk  melakukan segalanya untukku. Aku  sadar  ketika  sudah  terjaga dari semua  itu.

Berbahagialah  hai jiwaku,  yang  merasakan sentuhan keselamatan  yang luar  biasa besar. Yang  sebenarnya  sama  sekali  sudah layak  untuk  dibuang, diinjak-injak, atau  dibakar seperti  sekam, atau  ditebang  seperti  pohon yang  tidak menghasilkan buah, tetapi  dibiarkan menghias  ladang  dunia  ini, dengan tetap berdiri  tegak bahkan  masih  tertanam  kokoh kuat. Oh… dari manakah  kukuatan itu… dari diriku, sama  sekali  tidak  ada peluang  untuk  tetap  bertahan hidup, namun kuakui sungguh.. karena  KESABARAN ALLAHku  yang  maha  besar  padaku, telah berkali-kali  aku  diberi  kesempatan kedua. Yach.. selalu  ada kesempatan kedua  untukku, dan belum  pernah ada  ultimatum  sebagai  kesempatan terakhir.

Berbahagialah  hai  jiwaku,  yang  merasakan sentuhan penghiburan yang  luar biasa  besar. Aku yang  sebenarnya  tidak pantas  untuk  memperoleh hiburan, karena  aku  tidak  terbiasa  untuk mencari penghiburan dalam DIA, dikaruniai penghiburan kasih dalam ROh kudus. Aku  yang  hanya  tahu  memelihara  kecemasan  dan kekuatiran   dalam  benak  dan memendamnya  dalam  hati  sampai  membusuk, sepantasnya  tidak  mendapatkan apa-apa. Tetapi  kutemukan  diriku selalu  dihibur  dan dianugerahi  kegembiraan  dengan kemudahan-kemudahan  yang   tidak pantas  kuperoleh. Hidup  yang enak, bangun pagi  dengan  badan yang  segar, makan minum tersedia, bergizi dan menyehatkan, music yang  memanjakan telingaku, pemandangan indah yang memanjakan mataku, fasilitas  hidup  yang nyaman  yang memanjakan  jari-jari tangan dan kakiku. Penghiburan  yang memanjakan  diriku. Sepantasnya  bukan   untukku, tetapi aku  telah menerimanya  dengan berlimpah-limpah. Sungguh, semua  itu kuakui  karena  PENGHIBURAN KASIH dari ALLAHku, yang  menyediakan semuanya  itu, tanpa  menghitung  seberapa  banyak  untukku.

Berbahagialah  hai jiwaku, yang merasakan sentuhan  sukacita  dan  damai  di  hati yang luar  biasa. Meski  telingaku mendengar  aneka   derita  dunia dan mataku memandang  derita  kehidupan  yang  tiada  henti, dan hatiku  selalu  diliputi  oleh kekuatiran akan masa  depan yang  tidak punya  jaminan  apa-apa  untuk  diriku dan duniaku. Aku  merasakan damai  setiap  hari  yang  selalu  gratis… dan sungguh-sungguh penuh. Sungguh  kuakui  semua  itu karena  KEDAMAIAN  ALLAHku  yang  selalu  melingkupi  aku dengan penuh bagaikan  awan  di sekelilingku.

Berbahagialah hai jiwaku,  yang selalu  merasakan doa-doa  dan harapanku  dipenuhi  dna terkabulkan, Sampai-sampai  aku merasa seolah-olah aku sendiri  yang memiliki  semua itu  dan  mataNYA  hanya  tertuju kepadaku dan memenuhi  kebutuhan hidupku. Bahkan aku alami, ketika  kusampaikan kerinduanku  untuk  dia , mereka dan kita  semua, aku selalu  merasa, semua  sudah  ada  dan tersedia. Aku  tidak  perlu  lama-lama  menunggu sampai bertahun-tahun  untuk menerima  semua  itu. Seketika  ketika  aku menghendaki  dan meminta semua  sudah  ada dan tersedia, bahkan lebih dan sisa. Sungguh.. kuakui bukan karena  aku pantas  menerimanya, tetapi  semata-mata karena KEKAYAAN ALLAHku  yang luar  biasa  berlimpah, aku  selalu  dan selamanya  mendapat  bagian seturut  yang kuperlukan.

Berbahagialah  hai jiwaku, sebab ALLAHMU yang  agung  itu, berkenan melakukan semuanya  menurut kehendakNYA  dan  berbahagialah karena  ALLAHmu menginginkan engkau bahagia.

Bersyukurlah hai jiwaku, dengan sepenuh hati, budi, jiwa, tenaga dan kekuatanmu, Bersyukurlah, sebesar  kebahagiaan yang  telah kaurasakan dan kauterima.

Bersyukurlah  sebab  engkau  dicintai, dicintai, dicintai  sungguh dengan penuh  dengan  kuasa.

Bersyukurlah dan  bersujudlah, biarlah KEKUASAAN  CINTA  semakin melimpah dalam hidupmu.

Pangkalpinang, 3 Des  2009 PEsta  st. fransiskus  xaverius pelindung  misi. 06. 45 WIB

 

Senin, 30 November 2009


Tanpa alasan semua ada begitu saja, sama seperti adanya kehidupan ini, tanpa aku tahu tanpa aku kehendaki, semua sudah ada dan terjadi dengan hukum dan aturannya sendiri, Tidak ada yang lebih baik selain mengejar waktu dan mencoba dengan sekuat tenaga agar segala yang ada ini dimaknai dengan penuh semangat.

Sesungguhnya semangat itu sebuah rahmat, yang diberikan oleh Sang Ilahi, yang tidak bisa diprediksi tetapi sejatinya diterima dan dijalani.

Oh… Sang Empunya kehidupan, yang selalu berdoa, tanpa henti, tidak sekadar ada dan hadir tetapi melihat semua itu amat sangat baik.Hatiku hanya tertambat pada simpul-simpul duka yang menantang duniaku untuk menerimanya dengan baik. Tidak ada kata menyesal dan kecewa, sebab hidup ini sesungguhnya dinamis. Seketika saja semua sudah berubah menjadi lain. TIdak perlu mencari contoh lain, gempa bumi sama ngerinya bahkan lebih ngeri dari ancaman terorsme. Sungguh amat mengerikan dan mengenaskan, siapa yang dapat menghindar dan memiliki banyak waktu untuk mempertimbangkan bagaimana membela diri atau meluputkan diri. Tidak ada waktu untuk berlari, tidak ada. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya mereka yang telah terbiasa berpikir kritis, kretif, tahu pada saat yang tepat dan sangat singkat bisa berpikir. Tetapi itupun tidak pernah menjamin, karena hidup itu terkurung dengan banyak perkara dan soal, banyak gedung dan tembok yang membatasi manusia dengan manusia lainnya, membatasi manusia dengan alam bahkan dengan udara yang sangat ia butuhkan. Hidup telah dikondisikan sedemikian rupa seperti yang dipikirkan oleh mereka-mereka yang dianugerahi kemampuan untuk mencipta.

Batasan –batasan apapun, tidak bisa menghalangi oleh Yang Tak Terbatas, Allah penguasa segala-galanya. Yang melihat dengan jelas sampai kedalaman, yang mengerti maksud dan tujuan, yang menyelidiki isi hati , yang menguji nubari, yang tahu bagaimana memukul tetapi juga cara untuk menyembuhkan, Yang tahu bagaimana menyesah tetapi tahu juga bagaimana mengulurkan tangan. Yang tahu merendahkan tetapi juga tahu bagaimana caranya meninggikan. Tidak ada tembok-tembok dan gedung, tidak ada rumah atau penutup, tidak ada tiang-tiang penyangga, tidak ada selubung , semua bagiNYA sama saja, terbuka atau tertutup, karena semuanya terbuka bagi DIA.

Siapakah aku , yang berani mendongakkan kepala dan menegarkan tengkuk? Siapakah aku yang berani melawan dan melawan terus? Siapa??? Tragis dan mengharukan, sebab aku sampai tidak sanggup mengenali diriku sendiri. Sebab berhadapan denganNYA yang ada hanyalah ketidaklayakan, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan, keterbatasan yang sangat besar, jauh melampaui yang dipikirkan. Oh..kasihanilah lempuk lemah dan tak berdaya ini, yang sekejap menjadi bagaikan malaikat dan sekejap juga nyaris tidak lebih baik dari setan. OH… kalau kisah-kisah dalam Luk. 11 : 5 -13 adalah untuk meyakinkan aku, bahwa KEbaikan dan kemurahanNYA tanpa batas, maka tidak ada satu pun yang dapat menghalangi aku untuk menceritakan kesulitanku. Sebab DIA berkata dengan sangat ringan, enak dan memberi harapan bahwa APA SAJA YANG KAU MINTA AKAN DIBERI, YANG KAU CARI AKAN KAUDAPAT DAN YANG KAUKETUK, PASTI AKAN DIBUKAKAN PINTU.

Apalagi yang mengganjal hatimu dan mengurangi keceriaanmu dan merenggut kebahagiaanmu? Sebenarnya tidak ada, sebab ketika kau berpikir, itu bukan sekadar muatan akal budimu, tetapi AKU yang menanamkan jauh sebelum Kautahu dalam benakmu. Apa yang kau rindukan, bukan sekedar hasrat hatimu, tetapi ketahuilah sudah jauh-jauh hari kutempatkan dalam seluruh indra perasamu. Apa yang kaukuatirkan? Apa? Hidupmu bukan buatanmu sendiri, bahkan ketika engkau mengira, engkau yang mengatur semua itu, ternyata engkau salah besar, sebab engkau tidak punya andil apa-apa untuk menghasilkan. Engkau hanya bisa MENGAMBIL semua yang sudah KUsediakan sejak awal bagimu. Dan ada banyak hal yang tidak pernah terlihat olehmu, tidak terambil. Semuanya ada dan berlimpah-limpah bahkan engkau bisa mengambil sebebasmu.

Masalahmu sangat jelas, Apakah kamu percaya bahwa AKU TUHANmu telah menyediakan itu, apakah engkau cukup percaya bahwa yang kusediakan itu berlimpah-limpah? Apakah kamu cukup yakin bahwa yang ada itu, semuanya untukmu demi kebahagiaanmu? Apakah kamu cukup percaya, bahwa yang ada itu cukup untuk seluruh hidupmu? Masalah menjadi kesulitan, ketika kau berpikir, bahwa engkau tidak mampu mengambilnya, bahkan berpikir bahwa yang kusediakan bukan untukmu, tetapi untuk mereka? Masalah menjadi kesulitan , ketika kau merasa bahwa kau tidak punya apa-apa yang lebih buruk bahwa kau berpikir dan merasa bahwa semua itu tidak layak diperutukkan untukmu.

Dan sungguh, kau tidak pernah bisa memahami meski telah berulang kali kucoba dengan lebih dari seribu cara untuk menyakinkanmu. BEnar,…. Seperti yang selalu kausadari bahwa kesukaanmu adalah melakukan kehendakmu sendiri, Bukan kehendakKU. Tetapi tidak apa-apa, saat semakin mendekat, waktu semakin genap, saat semuanya menjadi terang –benderang, langit mendung berubah menjadi cerah. Saat itu, kau tidak bisa lagi, menyembunyikan apapun bahkan semua orang bisa melihat apa yang kau lihat dan kau ambil. Akan KUbiarkan saat itu terjadi sampai Engkau tahu, bahwa aku tidak main-main dan tidak bisa dipermainkan. Lihatlah, awam kelam mulai menghilang dari langit, angin badai semakin menjauh dari rumahmu…dan sinar mentari pagi telah mulai berarak naik perlahan memasuki rumahmu ang pengap itu. Bukankah engkau melihat… perlahan-lahan kotoran dan debu yang berterbangan bebas di udara yang selama ini tidak terlihat oleh mata ini, menjadi semakin nyata di bawah sinar matahari?

Oh… dengarkan baik-baik..saat-saat itu akan berlalu secepat angin berhembus, bahkan nyaris tidak kausadari. Engkau terkepung oleh tembok-tembok keegoisan dan kesombongan yang lebih merupakan kabut tebal sehingga hari siang menjadi bagaikan malam, padahal tidak ada indikasi akan hujan. Tetapi suatu waktu engkau akan tahu, bahwa AKU Tuhanmu, yang telah kau akui berulang-ulang sebagai EL SHADDAI sungguh ada dan berkuasa bahkan melampaui yang dapat kaupikirkan.

Akankah engkau masih memberontak dan memaksa diri untuk terkurung dalam tiang-tiang ruang gelap pengap? Semua yang menghalangi sudah Kuangkat dan Kuusir tidak ada penghalang bagimu. Tetapi AKU tahu, sangat tahu bahwa engkau menunggu sesuatu yakni jaminan keselamatanmu. Jaminan akan keselamatan dan kenyaman hidup?Sebenarnya sama sekali tidak ada, sungguh tidak ada, s ebab PUteraku saja, tidak punya satu bantal pun untuk meletakkan kepala, atau sebuah rumah tinggal tetap untuk singgah. Tetapi bukankah engkau tahu, bahwa PUteraKU itu, diterima oleh mereka-mereka yang punya rumah, yang punya uang seperti Susana istri Kuza bendaraha Herodes dan banyak perempuan lain yang mengikuti dan melayani berbagai keperluanNYA dengan harta kekayaan mereka.

Masihkah engkau meragukan jaminannya.Bukankah engkau sudah melihat, dan mengalami sendiri dengan matamu, mendengar dengan telingamu, bahwa sebagaimana bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, Tuhan sendiri telah membuat orang mesir berbaik dengan mereka, sehingga mereka menyerahkan emas perak dan ternak mereka kepada bagsa Israel. Siapa? Siapa yang bisa memberi apa yang dimilikinya kecuali HANYA AKU yang sanggup menyuruhnya dan membuat mereka demikian. Jadi apalagi jaminannya?

Kau pandai bersilat lidah dan mengulur waktu, pandai berdiplomasi dan menagih janji. Suatu tanda besar sebagaimana terlukis di langit dengan hadirnya awan indah sejenak saja lalu berubah bentuk karena ditiup angin, sehingga sulit sekali engkau menggambarkan seturut maumu apa bentuknya?

Tidak ada cara lain, selain bagimu, segera menadahkan tangan, bertanya dan pergi. Seorang Abraham, Paulus, Musa atau siapapun, sudah melakukan semuanya. Sudah dan persis seperti yang telah mereka alami: kegelapan dan kepekatan malam, jauhnya berjalan menyusuri jalan yang seolah tidak ada tujuan, kelelahan dan keletihan hebat, juga akhirnya ada yang tidak sanggup bertahan dan mati? Siapa yang kuat… kuat untuk percaya, bahwa janji ini, janji ini… tidak akan terlewatkan bagi orang lain, Dan sesungguhnya tiap-tiap orang telah dianugerahi janji dan rahmat menurut ukuran pemberian yang cukup dan pantas baginya. Bagimu… seperti itu. Bagi mereka, lain lagi, Bagi dia, beda lagi. Tunggu apa lagi? Datanglah dan nikmatilah. Percayalah dan sabarlah menunggu, semua ada waktunya. Tepat seperti yang digambarkan dalam rencanaKU.

Pangkalpinang, Thur, 8 Oktober 2009. 09.00 WIB dari resume refleksi hmartine

Bulan lalu aku berkesempatan menemui temanku seorang suster.Kami pernah berjumpa dan bersahabat 7 tahun yang lalu dalam Kursus Persiapan Kaul Kekal di Roncalli-Salatiga. Dia sabahat baikku, yang sangat mengerti aku. Waktu itu, setiap hari kami selalu berdoa bersama di gua Maria. Dia sangat setia menungguku untuk berdoa. Orangnya sangat sederhan bersahabat dengannya dan merasakan ketenangan dekat dengannya.Umurnya tidak terlalu jauh dariku, meski lebih tua sedikit. Pembawaannya yang sederhana dan tenang menginspirasiku waktu itu.
Nampaknya aku merindukan pribadi dan kepribadian yang seperti itu. Mungkin karena aku tidak memilikinya. Bawaanku yang keracak, suka berbicara dan ribut, tertawa keras-keras tanpa santun a, tenang, bersahaja. Aku tertarik dengan tetangga bahkan terkesan over acting. Yach… aku sendiri tidak begitu paham dengan diriku sendiri. Rasanya seperti itulah dan aku enjoy dengan diriku.Namun di sisi lain ada riakan gelombang hatiku yang menandakan adanya kerinduan akan ketenangan yang penuh pengertian, ketenangan yang “berisi” yang kata orang, tidak bisa dibuat-buat, tidak bisa dibeli, tetapi dianugerahi dan bisa dilatih.
Kekagumanku pada kepribadiannya, berhenti sampai di situ. Setelah Kursus selesai, semuanya juga berakhir. Tidak ada kontak sama sekali, tidak ada kabar berita. Tidak ada kesan. Sampai aku bertemu dengannya sebulan lalu, suatu pertemuan yang sengaja diatur , karena aku ingin berjumpa dengan teman-teman yang pernah kukenal. Benar saja, dugaku. Dia masih seperti yang dulu. Penuh senyum hangat merangkul dan memelukku sambil berkomentar, “ wah.. kamu agak gemuk” Pertemuan kami layaknya pertemuan Maria dan Elisabeth… ada sukacita yang mengalir di dalamnya. Sejenak bernostalgia lalu kucoba menanyakan tugas dan pelayanannya. Dari dulu sama, dia melayani di dapur rumah sakit dengan lebih dari 50 karyawan dapur, menangani makanan pasien 400 orang setiap hari.
Kuamati dapur rumah sakit yang luas dan penuh barang dengan orang-orang yang sedang bekerja. Aku terkagum-kagum, semuanya rapi, teratur, tersusun, terjadwal. Dia menunjukkan jalan dan anak-anak tangga yang dilewatinya setiap hari dari rumah ke dapur rumah sakit sambil berseloroh “ nich … lihat, lantai ubin yang timbul-timbul jadi licin seperti ini karena selalu dipijak kakiku.”Kucoba bertanya : “ Apakah tidak bosan? Selama bertahun-tahun di ruangan yang sama, dengan jalan yang sama, menghadapi orang-orang yang sama?” Dengan tersenyum ia menatapku dan menjawab : “ Nda lah, nda bosan. Wong ini sudah jadi pelayananku dan bagian dari hidupku. Diterima dan dijalani saja, tiap-tiap hari…Tahu-tahu sudah lewat sehari… seminggu, sebulan… setahun.. terus menerus begitu. Kalau tidak diterima dan dihitung-hitung wach.. susah. “
Kataku dalam batin : “wach … hebat orang ini. Benar dugaku, kesederhanaannya tidak berubah. Malah makin mendalam. Ketika orang-orang masa kini mulai memilih pelayanan yang “bisa dilihat, dikagumi orang lain” temanku tidak berpikir untuk menonjolkan diri. Diterima dan dijalani saja apa yang sudah ditentukan baginya sebagai sebuah panggilan jiwa.” Kalau aku, aduh.. benar ngga sanggup, sehari ngga melihat matahari rasanya kacau hati. Sehari tidak berjalan-jalan rasanya kaki pegal. Orang ini, begitu setia dan tekun dalam pekerjaannya yang tidak nampak dan tidak ringan itu. Memasak makanan di dapur bagi pasien… bukan perkara gampang, seringkali banyak yang komplein, itu kisahnya. Tetapi , dia cuma senyum-senyum saja ketika kutanya, kalau dikomplein bagaimana? Yach… diterima… dievaluasi lalu dibuat sesuai selera mereka, dilayani lebih baik lagi. “waduh.. kali ini batinku teriris-iris,bukan karena panasnya dapur dengan aroma masakan dan kue yang membuat perutku berontak, tetapi aku teringat kalimat indah yang selalu disebut pastor pendamping saat retret yang satu ini, bahkan tidak sempat yang baru selesai kuikuti. Kalimat yang sama yang selalu diungkapkan “accepting without judging” menerima tanpa komplein, tanpa memberontak, tanpa menghakimi.Dalam suasana retret kulumat-lumatkan kalimat indah itu seperti baru pernah mendengarnya dan kucatat dalam memori otakku, tetapi di sini, di dapur rumah sakit itu, aku menemukan SAKSI HIDUP yang telah menghidupi kalimat indah itu. Aku merasa sangat kecil dan kalah … sebab ketika aku baru berniat menghidupi ada orang yang sudah lama sekali memilikinya.
Permenunganku semakin panjang dan dalam. Kulihat dalam benakku kenyataan hidupku yang begitu penuh pemberontakan dan penolakan, yang telah membuat hatiku sendiri tidak tenang dan menjadikanku memikul cap “pemarah” atau “pemberontak”.Betapa telah banyak waktu hidupku terbuang lebih dari 36 tahun hanya untuk hal-hal sepele karena ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk MENERIMA. Menerima apa saja tanpa menghakimi.
Tuhanku yang hebat dan pemurah telah mempertemukanku dengan temanku itu, untuk menunjukkan padaku borok-borok bernanah dalam diriku.Sekaligus menunjukkan bahwa kerinduanku untuk tenang , diam, sederhana, sebenarnya memiliki satu kunci utama “ hening dan menerima tanpa menghakimi.”Bahwa kerinduanku itu, juga kerinduan Tuhanku, dan bahwa sebenarnya tidak sulit untuk diupayakan asal aku mau. Terima kasih, Tuhan, terima kasih teman buat hidupmu yang menginspirasi diriku.
H.Martine, Tues, 8 sep 2009
Kupersembahkan buat Sr.M. Margrit, FCh.

-->
Kasihku,
Bukannya aku sengaja menulikan telingaku ketika kudengar sabdaMu, waspadalah dan berjaga-jagalah. BUkan sengaja, tetapi aku sedang terperosok dalam perasaan ketakutan hebat akan jaminan hidup kekal. Imanku yang minim dan kerdil ini tidak bisa meyakinkan aku akan keselamatan itu. Perbuatan baikku yang dapat dihitung, yang jumlahnya tidak pernah lebih dari jumlah jari tangan dan kakiku, tidak bisa meyakinkan aku akan jaminan keselamatan itu. Apalagi dosa dan salahku yang hitam legam setebal arang kayu di dapur, yang nyaris tak dapat dibedakan dari warna atau bahannya. Bagaimana aku berharap akan keselamatan?
Memang setiap hari mataku tidak berhenti memandang. Telingaku tidak berhenti mendengar, karena semuanya terbuka lebar-lebar. Hatiku tiada berhenti bertanya dan pikiranku , anganku juga tidak berhenti berpetualang. Belum lagi tangan dan kakiku, mulut dan bibirku yang selalu taat pada perintah otakku yang kotor dan karatan itu.
Oh Tuhan , kekasihku.Bagaimana aku dapat berharap akan selamat? Bagaimana? Tepatlah sabda celakalah dariMU yang ditujukan pada orang-orang farisi dan ahli taurat yang tekun menaburkan benih kemunafikan dan menyebarkan ragi kesombongan serta keegoisan? Bukankah Engkau mengenal dengan baik siapa diriku? Yang ternyata lebih buruk dari 100 orang farisi sekaligus? Oh…bagaimana aku berharap akan memperoleh keselamatan? Bagaimana aku tahu cara berjaga-jaga dan berwaspada? Bagaimana?
Hari-hari kelam diselimuti kabut dosa. Angan beria dalam kegelapan dengan segudang harapan semu yang tiada berujung. Hati meronta penuh kemarahan dan kegeraman karena situasi hidup tidak berubah. Kebodohan dan ketololan dalam banyak hal telah meramba, menyusup sampai tulang sumsum dan berdiam dalam otak? Oh…. Bagaimana caranya berjaga-jaga? Mulut yang susah dikunci. Lidah yang susah dikekang, kaki dan tangan yang susah diikat, dengan bebas berkelana ke tempat-tempat yang sedap untuk menyantap kenikmatan dosa? Oh…. Dosa oh kenikmatan dosa yang mengharubiru hatiMU ya..kasihku, telah membuat aku terbunuh dalam ketololan dan kebodohan sebelum aku tahu, aku dapat selamat dan hidup.
Kasih, inilah kisah ketidakberdayaanku, dan rasa maluku yang amat besar, lebih besar dari kemaluanku yang buruk itu. Malu dengan diriku sendiri ketika mendengar sabda KebenaranMu.Malu dengan perkataanku sendiri yang meluncur selancar angin dan sekencang bunyi guntur. Malu dengan tulisanku sendiri yang setelah tercetak, terbaca sulit terlupakan oleh orang. Malu dengan tindakanku sendiri yang sembrono.Malu dengan pikiranku yang tidak terfokus dan berharap akan hal-hal aneh yang tidak pantas untuk termuat dalam memori pikiranku? Tetapi semua itu ada dan realita. Aku menamakannya DERITA hidupku yang tidak berujung.
Aku mengarah kepada BundaMU Maria, yang adalah “duta pengampunan” dan Duta pengharapan” untuk menjadi juru bicara bagiku, agar aku diampuni dan diberi pengharapan akan keselamatan yang memang tidak pantas aku terima karena realita dosaku. Tetapi siapakah aku yang bisa meminta seseorang untuk menjadi DUTAKU? Aku bukan siapa-siapa, cuma seorang anak pendosa, yang oleh karenanya Bunda telah rela menanti dengan sabar dalam antrean panjang untuk membantu aku naik dari sungai dosa, dan dibersihkan supaya pantas menghadap Sang Putera?
Oh…. Ketika tiada alasan untuk percaya, Abraham telah berharap dan ternyata itu diperhitungkan Tuhan sebagai kebenaran. Bukankah aku anak Abraham keturunannya yang hidup oleh karena iman Abraham? Ijinkan aku berharap akan keselamatan meski tidak ada dasar untuk percaya dan berharap. Sebab kalau Abraham bisa, aku percaya aku juga bisa,Tidak sekadar karena Abraham tetapi jauh …jauh dan lebih dari itu darah yang tertumpah di kayu salib, dari lambung yang terluka itu, telah menyirami bumi, tanah dan batu-batu yang terjal dan bertumpuk di kalvari. Di sini ada Kalvari…. Lambing derita hidup yang tiada akhir oleh kelemahan dan dosa yang banyak sekali. Batu-batu Kalvari yang tersiram darah telah terguling sampai di hadapanku, karena goncangan bumi… aku memungutnya ya kasihKu untuk menjadi alas kepalaku dan dasar bagiku untuk percaya. Karena tidak ada dasar lain, batu yang tersiram darah Putera di salib menjadi dasar dan harapan akan keselamatanKu, Terpuji Engkau yang agung dan hidup, kini dan sepanjang segala masa, AMIN.
Pangkalpinang, Thur, 22 Okt 2009 . 22.45 WIB dari resume refleksi pribadi h.martine

Kasih , TUhanku, Semakin aku belajar mengenal kehendakMu, semakin aku tidak mengerti mauMu. Semakin aku berpikir, semakin dekat aku denganMu, perasaanku mengatakan begitu jauh tak terjangkau. Aku ingat, persis yang kubaca : apa yang paling perlu dalam upaya untuk melakukan kehendak Tuhan? Jawabannya sangat jelas : “ menghendaki sepenuhnya kehendak Tuhan terjadi dalam diri dan hidupku.? Dan kalimat yang pantas dalam penghendakan ini adalah kalimat mujarab dari Bunda Maria , bunda dari Nasaret “ terjadilah padaku menurut perkataanMu, atau seperti yang tertera dalam doa Bapa Kami yang diajarkan oleh sang Juruselamat : ‘jadilah kehendakMU’
Kasih, apakah yang dapat kulakukan dan bagaimana aku bisa mengenal, mengerti dan melaksanakan kehendak Tuhan bila saya ‘kurang menghendakinya “ dalam diriku? Bagaimana aku memperoleh bagian di dalamnya? Inti kekudusan, pengudusan, menguduskan terletak pada “ bagaimana melakukan kehendak Allalh, bukan kehendak diri sendiri atau bahkan Cuma sekadar perasaan diri yang subyektif.
Mengenal, mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah, tidak begitu saja terjadi dengan serta merata dan tidak semudah yang dibayangkan.Proses panjang perlu ditempuh dengan segunung penderitaan yang tentunya menghampiri.
Pewartaan dan pelayanan yang menguduskan, bukan Cuma sekadar wacana dari kasih. Kekudusan dari sebuah pewartaan , dari sebuah pelayanan, tentu ada subyek yang menguduskannya, yakni Tuhan sendiri, Sang Yang Kudus. Mau kudus tentu seluruhnya harus selaras, sesuai dengan kemauan Yang Kudus. Bagaiman tahu , kemauannya bila aku tidak pernah menghendakinya, tidak pernah begitu tertarik untuk bertanya padanya, untuk dekat denganNya, untuk menerima apa-apa darinya? Bagaimana bisa lebih mengenal kehendakNya?
Kisah mother Teresa menjadi gambaran yang cukup jelas buatku tentang ‘berkenannya sebuah pelayanan di hadapan Tuhan” ‘ aku tidak pernah melakukan apapun yang dapat kulakukan kalau Dia tidak memintanya. Dialah yang meminta aku melakukannya dan aku melakukan semua itu. Sukacita dan kegembiraan dalam pewartaan dan pelayanan menjadi sebuah tanda nyata orang Kristen sejati. Pancaran sukacita yang sungguh mengalir keluar dari suatu kesadaran bahwa yang diwartakan dan dilayani semua itu berasal dari satu motivasi dasar sebagai ungkapan syukur atas segala yang telah diterima dari Tuhan. Saya telah diselamatkan dan dikuduskan oleh Tuhan, meski memikul kelemahan dan dosa yang tidak lebih sedikit dari orang lain.
Bila seluruh pewartaan dan pelayanan hidupku yang mengalir keluar termotivasi dari rasa syukurku atas kesematan dari Tuhan, maka segalanya tentu akan bernuansa’ terjadilah kehendakMU”.
PANGKALPINANG, 8 Nop 2009 ( dari resume refleksi hmartine)

ACCEPTING WITHOUT JUDGING



Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menginap di rumah sebuah keluarga dua hari. Sebuah keluarga yang belum lama kukenal, karena nyasar dan ingin menimba banyak pengalaman aku memutuskan untuk menginap di rumah keluarga meski ada banyak komunitas biara di sekitar daerah itu.

Kehadiranku dalam keluarga itu diterima dengan sangat baik. Sebagimana yang terjadi di mana-mana, seorang pastor atau suster yang menginap di rumah keluarga dilayani dengan luar biasa. Saya diajak ke mall untuk shopping, diajak makan dan ditawari mau ke mana saja sepanjang hari, mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Sebenarnya saya sangat lelah dan ingin relaks karena sebelumnya ada kegiatan yang padat, tapi demi persahabatan dan menghargai maksud baik tuan rumah yang telah menerimaku dengan baik, aku turuti juga mau dibawa ke mana saja.Cuma sayang sekali, dasarnya saya tidak hobi ke mall dan tidak pernah makan-makan di luar jadinya pening dan mual-mual dalam perjalanan. Saya tidak bisa menikmati perjalanan seperti itu, namun enggan mengatakannya kepada si tuan rumah, tidak enak. Melihat keadaanku yang setengah ngantuk dalam perjalanan si ibu bertanya, : suster mau jalan-jalan ke mana?” Sederetan tempat rekreasi dan mall disebut. Karena ditanya , maka dengan berani dan sopan kukatakan : “ kalau boleh pulang ke rumah saja, aku lelah dan tidak begitu hobi jalan-jalan.” Mereka sangat menghargai pilihanku, kami pulang dan makan di rumah, tidak jadi jalan-jalan. Si Ibu pun mulai bercerita bahwa sebenarnya mereka sekeluarga juga tidak punya kebiasaan shoping dan jalan-jalan yang menghabiskan banyak waktu. Suami dan anak-anaknya sangat betah di rumah. Syukur, gumamku dalam hati,berarti aku tak menolak niat baik mereka, kami sama-sama tidak hobi.

Menarik pengalamanku dua hari di rumah keluarga ini. Kusaksikan sejak jam 3.00 dini hari sang ibu yang memang ibu rumah tangga sudah bangun menyiapkan sarapan, membuat kue pesanan orang, mencuci baju dan membereskan rumah. Ketika aku bangun sekitar pukul 04.30 semua sudah beres. Dan kulihat, sepanjang hari ibu yang tidak banyak bicara ini dengan tenang ini melakukan sendiri semua tugas dan pekerjaannya. Kalau aku mau membantu meski cuma pindahkan piring dari meja makan ke dapur , tidak diperbolehkan. Jadilah aku seperti ratu di rumah itu. Aku dan si Ibu makan berdua, suami dan anak-anaknya makan sendiri seperti kebiasaan mereka sehari-hari, tidak biasa makan bersama.Siapa yang lapar, ambil makan. Kesempatan makan inilah, kami banyak bercerita. Tentu berhadapan dengan si ibu yang sangat kalem dan pendiam ini saya yang tukang ngerocos melancarkan sejumlah pertanyaan. Dari kisah-kisah kami berdua aku mendapatkan sedikit gambaran tentang keluarga.

Pernikahan Ibu ini termasuk pernikahan beda gereja. Suaminya seorang Kristen Pantekosta. Meski sejak awal sebelum pernikahan sudah ada perjanjian anak-anak dibaptis secara katolik ternyata dalam perjalanan waktu, sang suami tidak mengijinkan. Ketiga anaknya semua ikut ayahnya Kristen Pantekosta sejak kecil. Ketika kutanya, mengapa Ibu tidak mempertahankan minimal satu anak untuk ikut Ibu masuk katolik? Si Ibu dengan senyum khasnya mengatakan “ Bagi saya, tidak apa-apa suster, papanya mau demikian. Di Kristen juga tidak apa-apa asal mereka jadi anak baik. Dan memang kenyataannya mereka sanagt aktif di gerejanya. Saya hanya mau semuanya baik-baik saja, sampai kapan pun dan keluarga kami aman dan damai.” Mendengar ungkapan si Ibu, aku sedikit tersipu malu dan Cuma bisa mengangguk-angguk. Ibu yang kulihat sepintas pendiam ini menyimpan banyak prinsip hidup yang baik.Katanya melanjutkan : “ Hidup keluarga gampang-gampang susah, Suster. Mesti ada yang mau mengalah demi kebaikan bersama. “ Kalau, hidup seperti suster, memang mulia, lebih enak”. Dengan sedikit malu, aku katakan : “ Tidak juga, Bu. Hidup dalam keluarga dan hidup di biara, sama-sama harus berjuang. Kalau tidak ada yang mau mengalah, juga hidup komunitas hampir tidak mungkin. “ Sharing kami menjadi semakin seru dan panjang lebar. “ Kulihat Ibu bangun pagi sekali dan tidur sudah larut malam, sendirian melakukan tugas rumah tangga. Meski anak-anak sudah besar , tak ada yang mau membantu meski mencuci piring atau menyapu. Ibu, tentu lelah dan kurang beristirahat.” Jawabannya tulus : “sudah biasa seperti itu sejak menikah, meski dulu kupikir tidak bisa. Yach…. terbiasa, lelah juga tetapi saya merasa tidak terbeban. Ibu rumah tangga, memang begitu”. Saya Cuma bisa memandangnya penuh kasih dan kutatap sorot mata si Ibu yang memang tulus. “Pantasan anak-anak dan papanya sangat betah di rumah, karena Ibu sangat pandai menciptakan suasana rumah yang bagus, kerja sendirian dengan tenang, ibu berpembawaan tenang sehingga seisi rumah juga nyaman dan tenang” kataku dengan maksud meneguhkannya. Jawabnya : “ yach… saya juga tidak bisa buat banyak, Cuma ini-ini saja, juga tidak tahu banyak sejak dulu, tidak bisa melawan dan berbicara banyak. Menerima dan melakukan apa yang bisa saya lakukan. Tiap-tiap hari saya belajar mengenal kemauan mereka supaya bisa melayani mereka. Itu saja , suster. Tidak lebih, tidak pintar.”

Pernyataannya benar-benar, menggetarkan perasaanku. Persis kumerasakan inilah rahasia ketenangan si Ibu dan kenyamanan dalam rumah itu. Ibu selalu belajar… dan belajar terus mengenal kemauan anak-anak dan suaminya untuk bisa melayani mereka. Bagiku, peryataan ibu ini menginspirasiku. MENERIMA, BELAJAR terus-menerus mengenal kemauan mereka, kebutuhan mereka supaya bisa melayani mereka.

Aku ingat, beberapa hari sebelumnya aku mengikuti retret.Pastor pendamping retret dalam setiap konferensi selalu menyebut kalimat ini “ accepting without judging”. Retret dengan tema “menghayati penderitaan Kristus” yang di dalamnya banyak merenung kisah yesus yang menerima tugas perutusan Bapa dengan konsekuensi sampai wafat di salib. Kata MENERIMA menjadi kata favorit yang diulang-ulang, yang terekam dalam ingatanku, yang pada saat itu, kurasakan contoh konkret dari pengalaman hidup si Ibu. Tentu, Ibu bercerita tanpa maksud apa-apa umumnya Cuma menjawab pertanyaanku dan sekadar mengakrabkan hubungan kami.

Namun, bagiku setiap kisah pengalaman hidupnya, apa yang kusaksikan dan kudengar lebih merupakan sebuah berkat tersendiri bagiku. Tuhan melengkapkan apa yang tidak kutemukan dalam permenungan waktu retret.

Sesudahnya aku banyak merenung bagaimana hubunganku dengan pasanganku yang dianugerahkan Tuhan padanya, yang kulayani setiap hari dalam tugas perutusanku. Betapa lebih banyak menghabiskan energy percuma karena ketidakmampuanku untuk mudah menerima. Menerima realita yang tidak sesuai dengan selera, ide, pikiran dan harapanku. Menerima orang-orang yang berbeda denganku, yang lamban, yang salah langkah, yang sagak bodoh, yang macam-macam singkatnya yang tidak kusukai. Dalam banyak hal aku cenderung complain yang akhirnya menambah ketegangan, menciptakan penyakit bagi diri sendiri. Pengalaman hidup si Ibu menggugah nuraniku dan merupakan penyingkapan dari Tuhan untukku : Menerima dan belajar terus-menerus setiap hari untuk mengenal kebutuhan dan kemauan mereka supaya bisa melayani mereka.

Pangkalpinang, Tues, 28 Agust 2009. 22.30 wib dari resume refleksi h martine