Senin, 30 November 2009


Tanpa alasan semua ada begitu saja, sama seperti adanya kehidupan ini, tanpa aku tahu tanpa aku kehendaki, semua sudah ada dan terjadi dengan hukum dan aturannya sendiri, Tidak ada yang lebih baik selain mengejar waktu dan mencoba dengan sekuat tenaga agar segala yang ada ini dimaknai dengan penuh semangat.

Sesungguhnya semangat itu sebuah rahmat, yang diberikan oleh Sang Ilahi, yang tidak bisa diprediksi tetapi sejatinya diterima dan dijalani.

Oh… Sang Empunya kehidupan, yang selalu berdoa, tanpa henti, tidak sekadar ada dan hadir tetapi melihat semua itu amat sangat baik.Hatiku hanya tertambat pada simpul-simpul duka yang menantang duniaku untuk menerimanya dengan baik. Tidak ada kata menyesal dan kecewa, sebab hidup ini sesungguhnya dinamis. Seketika saja semua sudah berubah menjadi lain. TIdak perlu mencari contoh lain, gempa bumi sama ngerinya bahkan lebih ngeri dari ancaman terorsme. Sungguh amat mengerikan dan mengenaskan, siapa yang dapat menghindar dan memiliki banyak waktu untuk mempertimbangkan bagaimana membela diri atau meluputkan diri. Tidak ada waktu untuk berlari, tidak ada. Tidak ada waktu untuk berpikir, hanya mereka yang telah terbiasa berpikir kritis, kretif, tahu pada saat yang tepat dan sangat singkat bisa berpikir. Tetapi itupun tidak pernah menjamin, karena hidup itu terkurung dengan banyak perkara dan soal, banyak gedung dan tembok yang membatasi manusia dengan manusia lainnya, membatasi manusia dengan alam bahkan dengan udara yang sangat ia butuhkan. Hidup telah dikondisikan sedemikian rupa seperti yang dipikirkan oleh mereka-mereka yang dianugerahi kemampuan untuk mencipta.

Batasan –batasan apapun, tidak bisa menghalangi oleh Yang Tak Terbatas, Allah penguasa segala-galanya. Yang melihat dengan jelas sampai kedalaman, yang mengerti maksud dan tujuan, yang menyelidiki isi hati , yang menguji nubari, yang tahu bagaimana memukul tetapi juga cara untuk menyembuhkan, Yang tahu bagaimana menyesah tetapi tahu juga bagaimana mengulurkan tangan. Yang tahu merendahkan tetapi juga tahu bagaimana caranya meninggikan. Tidak ada tembok-tembok dan gedung, tidak ada rumah atau penutup, tidak ada tiang-tiang penyangga, tidak ada selubung , semua bagiNYA sama saja, terbuka atau tertutup, karena semuanya terbuka bagi DIA.

Siapakah aku , yang berani mendongakkan kepala dan menegarkan tengkuk? Siapakah aku yang berani melawan dan melawan terus? Siapa??? Tragis dan mengharukan, sebab aku sampai tidak sanggup mengenali diriku sendiri. Sebab berhadapan denganNYA yang ada hanyalah ketidaklayakan, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan, keterbatasan yang sangat besar, jauh melampaui yang dipikirkan. Oh..kasihanilah lempuk lemah dan tak berdaya ini, yang sekejap menjadi bagaikan malaikat dan sekejap juga nyaris tidak lebih baik dari setan. OH… kalau kisah-kisah dalam Luk. 11 : 5 -13 adalah untuk meyakinkan aku, bahwa KEbaikan dan kemurahanNYA tanpa batas, maka tidak ada satu pun yang dapat menghalangi aku untuk menceritakan kesulitanku. Sebab DIA berkata dengan sangat ringan, enak dan memberi harapan bahwa APA SAJA YANG KAU MINTA AKAN DIBERI, YANG KAU CARI AKAN KAUDAPAT DAN YANG KAUKETUK, PASTI AKAN DIBUKAKAN PINTU.

Apalagi yang mengganjal hatimu dan mengurangi keceriaanmu dan merenggut kebahagiaanmu? Sebenarnya tidak ada, sebab ketika kau berpikir, itu bukan sekadar muatan akal budimu, tetapi AKU yang menanamkan jauh sebelum Kautahu dalam benakmu. Apa yang kau rindukan, bukan sekedar hasrat hatimu, tetapi ketahuilah sudah jauh-jauh hari kutempatkan dalam seluruh indra perasamu. Apa yang kaukuatirkan? Apa? Hidupmu bukan buatanmu sendiri, bahkan ketika engkau mengira, engkau yang mengatur semua itu, ternyata engkau salah besar, sebab engkau tidak punya andil apa-apa untuk menghasilkan. Engkau hanya bisa MENGAMBIL semua yang sudah KUsediakan sejak awal bagimu. Dan ada banyak hal yang tidak pernah terlihat olehmu, tidak terambil. Semuanya ada dan berlimpah-limpah bahkan engkau bisa mengambil sebebasmu.

Masalahmu sangat jelas, Apakah kamu percaya bahwa AKU TUHANmu telah menyediakan itu, apakah engkau cukup percaya bahwa yang kusediakan itu berlimpah-limpah? Apakah kamu cukup yakin bahwa yang ada itu, semuanya untukmu demi kebahagiaanmu? Apakah kamu cukup percaya, bahwa yang ada itu cukup untuk seluruh hidupmu? Masalah menjadi kesulitan, ketika kau berpikir, bahwa engkau tidak mampu mengambilnya, bahkan berpikir bahwa yang kusediakan bukan untukmu, tetapi untuk mereka? Masalah menjadi kesulitan , ketika kau merasa bahwa kau tidak punya apa-apa yang lebih buruk bahwa kau berpikir dan merasa bahwa semua itu tidak layak diperutukkan untukmu.

Dan sungguh, kau tidak pernah bisa memahami meski telah berulang kali kucoba dengan lebih dari seribu cara untuk menyakinkanmu. BEnar,…. Seperti yang selalu kausadari bahwa kesukaanmu adalah melakukan kehendakmu sendiri, Bukan kehendakKU. Tetapi tidak apa-apa, saat semakin mendekat, waktu semakin genap, saat semuanya menjadi terang –benderang, langit mendung berubah menjadi cerah. Saat itu, kau tidak bisa lagi, menyembunyikan apapun bahkan semua orang bisa melihat apa yang kau lihat dan kau ambil. Akan KUbiarkan saat itu terjadi sampai Engkau tahu, bahwa aku tidak main-main dan tidak bisa dipermainkan. Lihatlah, awam kelam mulai menghilang dari langit, angin badai semakin menjauh dari rumahmu…dan sinar mentari pagi telah mulai berarak naik perlahan memasuki rumahmu ang pengap itu. Bukankah engkau melihat… perlahan-lahan kotoran dan debu yang berterbangan bebas di udara yang selama ini tidak terlihat oleh mata ini, menjadi semakin nyata di bawah sinar matahari?

Oh… dengarkan baik-baik..saat-saat itu akan berlalu secepat angin berhembus, bahkan nyaris tidak kausadari. Engkau terkepung oleh tembok-tembok keegoisan dan kesombongan yang lebih merupakan kabut tebal sehingga hari siang menjadi bagaikan malam, padahal tidak ada indikasi akan hujan. Tetapi suatu waktu engkau akan tahu, bahwa AKU Tuhanmu, yang telah kau akui berulang-ulang sebagai EL SHADDAI sungguh ada dan berkuasa bahkan melampaui yang dapat kaupikirkan.

Akankah engkau masih memberontak dan memaksa diri untuk terkurung dalam tiang-tiang ruang gelap pengap? Semua yang menghalangi sudah Kuangkat dan Kuusir tidak ada penghalang bagimu. Tetapi AKU tahu, sangat tahu bahwa engkau menunggu sesuatu yakni jaminan keselamatanmu. Jaminan akan keselamatan dan kenyaman hidup?Sebenarnya sama sekali tidak ada, sungguh tidak ada, s ebab PUteraku saja, tidak punya satu bantal pun untuk meletakkan kepala, atau sebuah rumah tinggal tetap untuk singgah. Tetapi bukankah engkau tahu, bahwa PUteraKU itu, diterima oleh mereka-mereka yang punya rumah, yang punya uang seperti Susana istri Kuza bendaraha Herodes dan banyak perempuan lain yang mengikuti dan melayani berbagai keperluanNYA dengan harta kekayaan mereka.

Masihkah engkau meragukan jaminannya.Bukankah engkau sudah melihat, dan mengalami sendiri dengan matamu, mendengar dengan telingamu, bahwa sebagaimana bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, Tuhan sendiri telah membuat orang mesir berbaik dengan mereka, sehingga mereka menyerahkan emas perak dan ternak mereka kepada bagsa Israel. Siapa? Siapa yang bisa memberi apa yang dimilikinya kecuali HANYA AKU yang sanggup menyuruhnya dan membuat mereka demikian. Jadi apalagi jaminannya?

Kau pandai bersilat lidah dan mengulur waktu, pandai berdiplomasi dan menagih janji. Suatu tanda besar sebagaimana terlukis di langit dengan hadirnya awan indah sejenak saja lalu berubah bentuk karena ditiup angin, sehingga sulit sekali engkau menggambarkan seturut maumu apa bentuknya?

Tidak ada cara lain, selain bagimu, segera menadahkan tangan, bertanya dan pergi. Seorang Abraham, Paulus, Musa atau siapapun, sudah melakukan semuanya. Sudah dan persis seperti yang telah mereka alami: kegelapan dan kepekatan malam, jauhnya berjalan menyusuri jalan yang seolah tidak ada tujuan, kelelahan dan keletihan hebat, juga akhirnya ada yang tidak sanggup bertahan dan mati? Siapa yang kuat… kuat untuk percaya, bahwa janji ini, janji ini… tidak akan terlewatkan bagi orang lain, Dan sesungguhnya tiap-tiap orang telah dianugerahi janji dan rahmat menurut ukuran pemberian yang cukup dan pantas baginya. Bagimu… seperti itu. Bagi mereka, lain lagi, Bagi dia, beda lagi. Tunggu apa lagi? Datanglah dan nikmatilah. Percayalah dan sabarlah menunggu, semua ada waktunya. Tepat seperti yang digambarkan dalam rencanaKU.

Pangkalpinang, Thur, 8 Oktober 2009. 09.00 WIB dari resume refleksi hmartine

Bulan lalu aku berkesempatan menemui temanku seorang suster.Kami pernah berjumpa dan bersahabat 7 tahun yang lalu dalam Kursus Persiapan Kaul Kekal di Roncalli-Salatiga. Dia sabahat baikku, yang sangat mengerti aku. Waktu itu, setiap hari kami selalu berdoa bersama di gua Maria. Dia sangat setia menungguku untuk berdoa. Orangnya sangat sederhan bersahabat dengannya dan merasakan ketenangan dekat dengannya.Umurnya tidak terlalu jauh dariku, meski lebih tua sedikit. Pembawaannya yang sederhana dan tenang menginspirasiku waktu itu.
Nampaknya aku merindukan pribadi dan kepribadian yang seperti itu. Mungkin karena aku tidak memilikinya. Bawaanku yang keracak, suka berbicara dan ribut, tertawa keras-keras tanpa santun a, tenang, bersahaja. Aku tertarik dengan tetangga bahkan terkesan over acting. Yach… aku sendiri tidak begitu paham dengan diriku sendiri. Rasanya seperti itulah dan aku enjoy dengan diriku.Namun di sisi lain ada riakan gelombang hatiku yang menandakan adanya kerinduan akan ketenangan yang penuh pengertian, ketenangan yang “berisi” yang kata orang, tidak bisa dibuat-buat, tidak bisa dibeli, tetapi dianugerahi dan bisa dilatih.
Kekagumanku pada kepribadiannya, berhenti sampai di situ. Setelah Kursus selesai, semuanya juga berakhir. Tidak ada kontak sama sekali, tidak ada kabar berita. Tidak ada kesan. Sampai aku bertemu dengannya sebulan lalu, suatu pertemuan yang sengaja diatur , karena aku ingin berjumpa dengan teman-teman yang pernah kukenal. Benar saja, dugaku. Dia masih seperti yang dulu. Penuh senyum hangat merangkul dan memelukku sambil berkomentar, “ wah.. kamu agak gemuk” Pertemuan kami layaknya pertemuan Maria dan Elisabeth… ada sukacita yang mengalir di dalamnya. Sejenak bernostalgia lalu kucoba menanyakan tugas dan pelayanannya. Dari dulu sama, dia melayani di dapur rumah sakit dengan lebih dari 50 karyawan dapur, menangani makanan pasien 400 orang setiap hari.
Kuamati dapur rumah sakit yang luas dan penuh barang dengan orang-orang yang sedang bekerja. Aku terkagum-kagum, semuanya rapi, teratur, tersusun, terjadwal. Dia menunjukkan jalan dan anak-anak tangga yang dilewatinya setiap hari dari rumah ke dapur rumah sakit sambil berseloroh “ nich … lihat, lantai ubin yang timbul-timbul jadi licin seperti ini karena selalu dipijak kakiku.”Kucoba bertanya : “ Apakah tidak bosan? Selama bertahun-tahun di ruangan yang sama, dengan jalan yang sama, menghadapi orang-orang yang sama?” Dengan tersenyum ia menatapku dan menjawab : “ Nda lah, nda bosan. Wong ini sudah jadi pelayananku dan bagian dari hidupku. Diterima dan dijalani saja, tiap-tiap hari…Tahu-tahu sudah lewat sehari… seminggu, sebulan… setahun.. terus menerus begitu. Kalau tidak diterima dan dihitung-hitung wach.. susah. “
Kataku dalam batin : “wach … hebat orang ini. Benar dugaku, kesederhanaannya tidak berubah. Malah makin mendalam. Ketika orang-orang masa kini mulai memilih pelayanan yang “bisa dilihat, dikagumi orang lain” temanku tidak berpikir untuk menonjolkan diri. Diterima dan dijalani saja apa yang sudah ditentukan baginya sebagai sebuah panggilan jiwa.” Kalau aku, aduh.. benar ngga sanggup, sehari ngga melihat matahari rasanya kacau hati. Sehari tidak berjalan-jalan rasanya kaki pegal. Orang ini, begitu setia dan tekun dalam pekerjaannya yang tidak nampak dan tidak ringan itu. Memasak makanan di dapur bagi pasien… bukan perkara gampang, seringkali banyak yang komplein, itu kisahnya. Tetapi , dia cuma senyum-senyum saja ketika kutanya, kalau dikomplein bagaimana? Yach… diterima… dievaluasi lalu dibuat sesuai selera mereka, dilayani lebih baik lagi. “waduh.. kali ini batinku teriris-iris,bukan karena panasnya dapur dengan aroma masakan dan kue yang membuat perutku berontak, tetapi aku teringat kalimat indah yang selalu disebut pastor pendamping saat retret yang satu ini, bahkan tidak sempat yang baru selesai kuikuti. Kalimat yang sama yang selalu diungkapkan “accepting without judging” menerima tanpa komplein, tanpa memberontak, tanpa menghakimi.Dalam suasana retret kulumat-lumatkan kalimat indah itu seperti baru pernah mendengarnya dan kucatat dalam memori otakku, tetapi di sini, di dapur rumah sakit itu, aku menemukan SAKSI HIDUP yang telah menghidupi kalimat indah itu. Aku merasa sangat kecil dan kalah … sebab ketika aku baru berniat menghidupi ada orang yang sudah lama sekali memilikinya.
Permenunganku semakin panjang dan dalam. Kulihat dalam benakku kenyataan hidupku yang begitu penuh pemberontakan dan penolakan, yang telah membuat hatiku sendiri tidak tenang dan menjadikanku memikul cap “pemarah” atau “pemberontak”.Betapa telah banyak waktu hidupku terbuang lebih dari 36 tahun hanya untuk hal-hal sepele karena ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk MENERIMA. Menerima apa saja tanpa menghakimi.
Tuhanku yang hebat dan pemurah telah mempertemukanku dengan temanku itu, untuk menunjukkan padaku borok-borok bernanah dalam diriku.Sekaligus menunjukkan bahwa kerinduanku untuk tenang , diam, sederhana, sebenarnya memiliki satu kunci utama “ hening dan menerima tanpa menghakimi.”Bahwa kerinduanku itu, juga kerinduan Tuhanku, dan bahwa sebenarnya tidak sulit untuk diupayakan asal aku mau. Terima kasih, Tuhan, terima kasih teman buat hidupmu yang menginspirasi diriku.
H.Martine, Tues, 8 sep 2009
Kupersembahkan buat Sr.M. Margrit, FCh.

-->
Kasihku,
Bukannya aku sengaja menulikan telingaku ketika kudengar sabdaMu, waspadalah dan berjaga-jagalah. BUkan sengaja, tetapi aku sedang terperosok dalam perasaan ketakutan hebat akan jaminan hidup kekal. Imanku yang minim dan kerdil ini tidak bisa meyakinkan aku akan keselamatan itu. Perbuatan baikku yang dapat dihitung, yang jumlahnya tidak pernah lebih dari jumlah jari tangan dan kakiku, tidak bisa meyakinkan aku akan jaminan keselamatan itu. Apalagi dosa dan salahku yang hitam legam setebal arang kayu di dapur, yang nyaris tak dapat dibedakan dari warna atau bahannya. Bagaimana aku berharap akan keselamatan?
Memang setiap hari mataku tidak berhenti memandang. Telingaku tidak berhenti mendengar, karena semuanya terbuka lebar-lebar. Hatiku tiada berhenti bertanya dan pikiranku , anganku juga tidak berhenti berpetualang. Belum lagi tangan dan kakiku, mulut dan bibirku yang selalu taat pada perintah otakku yang kotor dan karatan itu.
Oh Tuhan , kekasihku.Bagaimana aku dapat berharap akan selamat? Bagaimana? Tepatlah sabda celakalah dariMU yang ditujukan pada orang-orang farisi dan ahli taurat yang tekun menaburkan benih kemunafikan dan menyebarkan ragi kesombongan serta keegoisan? Bukankah Engkau mengenal dengan baik siapa diriku? Yang ternyata lebih buruk dari 100 orang farisi sekaligus? Oh…bagaimana aku berharap akan memperoleh keselamatan? Bagaimana aku tahu cara berjaga-jaga dan berwaspada? Bagaimana?
Hari-hari kelam diselimuti kabut dosa. Angan beria dalam kegelapan dengan segudang harapan semu yang tiada berujung. Hati meronta penuh kemarahan dan kegeraman karena situasi hidup tidak berubah. Kebodohan dan ketololan dalam banyak hal telah meramba, menyusup sampai tulang sumsum dan berdiam dalam otak? Oh…. Bagaimana caranya berjaga-jaga? Mulut yang susah dikunci. Lidah yang susah dikekang, kaki dan tangan yang susah diikat, dengan bebas berkelana ke tempat-tempat yang sedap untuk menyantap kenikmatan dosa? Oh…. Dosa oh kenikmatan dosa yang mengharubiru hatiMU ya..kasihku, telah membuat aku terbunuh dalam ketololan dan kebodohan sebelum aku tahu, aku dapat selamat dan hidup.
Kasih, inilah kisah ketidakberdayaanku, dan rasa maluku yang amat besar, lebih besar dari kemaluanku yang buruk itu. Malu dengan diriku sendiri ketika mendengar sabda KebenaranMu.Malu dengan perkataanku sendiri yang meluncur selancar angin dan sekencang bunyi guntur. Malu dengan tulisanku sendiri yang setelah tercetak, terbaca sulit terlupakan oleh orang. Malu dengan tindakanku sendiri yang sembrono.Malu dengan pikiranku yang tidak terfokus dan berharap akan hal-hal aneh yang tidak pantas untuk termuat dalam memori pikiranku? Tetapi semua itu ada dan realita. Aku menamakannya DERITA hidupku yang tidak berujung.
Aku mengarah kepada BundaMU Maria, yang adalah “duta pengampunan” dan Duta pengharapan” untuk menjadi juru bicara bagiku, agar aku diampuni dan diberi pengharapan akan keselamatan yang memang tidak pantas aku terima karena realita dosaku. Tetapi siapakah aku yang bisa meminta seseorang untuk menjadi DUTAKU? Aku bukan siapa-siapa, cuma seorang anak pendosa, yang oleh karenanya Bunda telah rela menanti dengan sabar dalam antrean panjang untuk membantu aku naik dari sungai dosa, dan dibersihkan supaya pantas menghadap Sang Putera?
Oh…. Ketika tiada alasan untuk percaya, Abraham telah berharap dan ternyata itu diperhitungkan Tuhan sebagai kebenaran. Bukankah aku anak Abraham keturunannya yang hidup oleh karena iman Abraham? Ijinkan aku berharap akan keselamatan meski tidak ada dasar untuk percaya dan berharap. Sebab kalau Abraham bisa, aku percaya aku juga bisa,Tidak sekadar karena Abraham tetapi jauh …jauh dan lebih dari itu darah yang tertumpah di kayu salib, dari lambung yang terluka itu, telah menyirami bumi, tanah dan batu-batu yang terjal dan bertumpuk di kalvari. Di sini ada Kalvari…. Lambing derita hidup yang tiada akhir oleh kelemahan dan dosa yang banyak sekali. Batu-batu Kalvari yang tersiram darah telah terguling sampai di hadapanku, karena goncangan bumi… aku memungutnya ya kasihKu untuk menjadi alas kepalaku dan dasar bagiku untuk percaya. Karena tidak ada dasar lain, batu yang tersiram darah Putera di salib menjadi dasar dan harapan akan keselamatanKu, Terpuji Engkau yang agung dan hidup, kini dan sepanjang segala masa, AMIN.
Pangkalpinang, Thur, 22 Okt 2009 . 22.45 WIB dari resume refleksi pribadi h.martine

Kasih , TUhanku, Semakin aku belajar mengenal kehendakMu, semakin aku tidak mengerti mauMu. Semakin aku berpikir, semakin dekat aku denganMu, perasaanku mengatakan begitu jauh tak terjangkau. Aku ingat, persis yang kubaca : apa yang paling perlu dalam upaya untuk melakukan kehendak Tuhan? Jawabannya sangat jelas : “ menghendaki sepenuhnya kehendak Tuhan terjadi dalam diri dan hidupku.? Dan kalimat yang pantas dalam penghendakan ini adalah kalimat mujarab dari Bunda Maria , bunda dari Nasaret “ terjadilah padaku menurut perkataanMu, atau seperti yang tertera dalam doa Bapa Kami yang diajarkan oleh sang Juruselamat : ‘jadilah kehendakMU’
Kasih, apakah yang dapat kulakukan dan bagaimana aku bisa mengenal, mengerti dan melaksanakan kehendak Tuhan bila saya ‘kurang menghendakinya “ dalam diriku? Bagaimana aku memperoleh bagian di dalamnya? Inti kekudusan, pengudusan, menguduskan terletak pada “ bagaimana melakukan kehendak Allalh, bukan kehendak diri sendiri atau bahkan Cuma sekadar perasaan diri yang subyektif.
Mengenal, mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah, tidak begitu saja terjadi dengan serta merata dan tidak semudah yang dibayangkan.Proses panjang perlu ditempuh dengan segunung penderitaan yang tentunya menghampiri.
Pewartaan dan pelayanan yang menguduskan, bukan Cuma sekadar wacana dari kasih. Kekudusan dari sebuah pewartaan , dari sebuah pelayanan, tentu ada subyek yang menguduskannya, yakni Tuhan sendiri, Sang Yang Kudus. Mau kudus tentu seluruhnya harus selaras, sesuai dengan kemauan Yang Kudus. Bagaiman tahu , kemauannya bila aku tidak pernah menghendakinya, tidak pernah begitu tertarik untuk bertanya padanya, untuk dekat denganNya, untuk menerima apa-apa darinya? Bagaimana bisa lebih mengenal kehendakNya?
Kisah mother Teresa menjadi gambaran yang cukup jelas buatku tentang ‘berkenannya sebuah pelayanan di hadapan Tuhan” ‘ aku tidak pernah melakukan apapun yang dapat kulakukan kalau Dia tidak memintanya. Dialah yang meminta aku melakukannya dan aku melakukan semua itu. Sukacita dan kegembiraan dalam pewartaan dan pelayanan menjadi sebuah tanda nyata orang Kristen sejati. Pancaran sukacita yang sungguh mengalir keluar dari suatu kesadaran bahwa yang diwartakan dan dilayani semua itu berasal dari satu motivasi dasar sebagai ungkapan syukur atas segala yang telah diterima dari Tuhan. Saya telah diselamatkan dan dikuduskan oleh Tuhan, meski memikul kelemahan dan dosa yang tidak lebih sedikit dari orang lain.
Bila seluruh pewartaan dan pelayanan hidupku yang mengalir keluar termotivasi dari rasa syukurku atas kesematan dari Tuhan, maka segalanya tentu akan bernuansa’ terjadilah kehendakMU”.
PANGKALPINANG, 8 Nop 2009 ( dari resume refleksi hmartine)

ACCEPTING WITHOUT JUDGING



Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menginap di rumah sebuah keluarga dua hari. Sebuah keluarga yang belum lama kukenal, karena nyasar dan ingin menimba banyak pengalaman aku memutuskan untuk menginap di rumah keluarga meski ada banyak komunitas biara di sekitar daerah itu.

Kehadiranku dalam keluarga itu diterima dengan sangat baik. Sebagimana yang terjadi di mana-mana, seorang pastor atau suster yang menginap di rumah keluarga dilayani dengan luar biasa. Saya diajak ke mall untuk shopping, diajak makan dan ditawari mau ke mana saja sepanjang hari, mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Sebenarnya saya sangat lelah dan ingin relaks karena sebelumnya ada kegiatan yang padat, tapi demi persahabatan dan menghargai maksud baik tuan rumah yang telah menerimaku dengan baik, aku turuti juga mau dibawa ke mana saja.Cuma sayang sekali, dasarnya saya tidak hobi ke mall dan tidak pernah makan-makan di luar jadinya pening dan mual-mual dalam perjalanan. Saya tidak bisa menikmati perjalanan seperti itu, namun enggan mengatakannya kepada si tuan rumah, tidak enak. Melihat keadaanku yang setengah ngantuk dalam perjalanan si ibu bertanya, : suster mau jalan-jalan ke mana?” Sederetan tempat rekreasi dan mall disebut. Karena ditanya , maka dengan berani dan sopan kukatakan : “ kalau boleh pulang ke rumah saja, aku lelah dan tidak begitu hobi jalan-jalan.” Mereka sangat menghargai pilihanku, kami pulang dan makan di rumah, tidak jadi jalan-jalan. Si Ibu pun mulai bercerita bahwa sebenarnya mereka sekeluarga juga tidak punya kebiasaan shoping dan jalan-jalan yang menghabiskan banyak waktu. Suami dan anak-anaknya sangat betah di rumah. Syukur, gumamku dalam hati,berarti aku tak menolak niat baik mereka, kami sama-sama tidak hobi.

Menarik pengalamanku dua hari di rumah keluarga ini. Kusaksikan sejak jam 3.00 dini hari sang ibu yang memang ibu rumah tangga sudah bangun menyiapkan sarapan, membuat kue pesanan orang, mencuci baju dan membereskan rumah. Ketika aku bangun sekitar pukul 04.30 semua sudah beres. Dan kulihat, sepanjang hari ibu yang tidak banyak bicara ini dengan tenang ini melakukan sendiri semua tugas dan pekerjaannya. Kalau aku mau membantu meski cuma pindahkan piring dari meja makan ke dapur , tidak diperbolehkan. Jadilah aku seperti ratu di rumah itu. Aku dan si Ibu makan berdua, suami dan anak-anaknya makan sendiri seperti kebiasaan mereka sehari-hari, tidak biasa makan bersama.Siapa yang lapar, ambil makan. Kesempatan makan inilah, kami banyak bercerita. Tentu berhadapan dengan si ibu yang sangat kalem dan pendiam ini saya yang tukang ngerocos melancarkan sejumlah pertanyaan. Dari kisah-kisah kami berdua aku mendapatkan sedikit gambaran tentang keluarga.

Pernikahan Ibu ini termasuk pernikahan beda gereja. Suaminya seorang Kristen Pantekosta. Meski sejak awal sebelum pernikahan sudah ada perjanjian anak-anak dibaptis secara katolik ternyata dalam perjalanan waktu, sang suami tidak mengijinkan. Ketiga anaknya semua ikut ayahnya Kristen Pantekosta sejak kecil. Ketika kutanya, mengapa Ibu tidak mempertahankan minimal satu anak untuk ikut Ibu masuk katolik? Si Ibu dengan senyum khasnya mengatakan “ Bagi saya, tidak apa-apa suster, papanya mau demikian. Di Kristen juga tidak apa-apa asal mereka jadi anak baik. Dan memang kenyataannya mereka sanagt aktif di gerejanya. Saya hanya mau semuanya baik-baik saja, sampai kapan pun dan keluarga kami aman dan damai.” Mendengar ungkapan si Ibu, aku sedikit tersipu malu dan Cuma bisa mengangguk-angguk. Ibu yang kulihat sepintas pendiam ini menyimpan banyak prinsip hidup yang baik.Katanya melanjutkan : “ Hidup keluarga gampang-gampang susah, Suster. Mesti ada yang mau mengalah demi kebaikan bersama. “ Kalau, hidup seperti suster, memang mulia, lebih enak”. Dengan sedikit malu, aku katakan : “ Tidak juga, Bu. Hidup dalam keluarga dan hidup di biara, sama-sama harus berjuang. Kalau tidak ada yang mau mengalah, juga hidup komunitas hampir tidak mungkin. “ Sharing kami menjadi semakin seru dan panjang lebar. “ Kulihat Ibu bangun pagi sekali dan tidur sudah larut malam, sendirian melakukan tugas rumah tangga. Meski anak-anak sudah besar , tak ada yang mau membantu meski mencuci piring atau menyapu. Ibu, tentu lelah dan kurang beristirahat.” Jawabannya tulus : “sudah biasa seperti itu sejak menikah, meski dulu kupikir tidak bisa. Yach…. terbiasa, lelah juga tetapi saya merasa tidak terbeban. Ibu rumah tangga, memang begitu”. Saya Cuma bisa memandangnya penuh kasih dan kutatap sorot mata si Ibu yang memang tulus. “Pantasan anak-anak dan papanya sangat betah di rumah, karena Ibu sangat pandai menciptakan suasana rumah yang bagus, kerja sendirian dengan tenang, ibu berpembawaan tenang sehingga seisi rumah juga nyaman dan tenang” kataku dengan maksud meneguhkannya. Jawabnya : “ yach… saya juga tidak bisa buat banyak, Cuma ini-ini saja, juga tidak tahu banyak sejak dulu, tidak bisa melawan dan berbicara banyak. Menerima dan melakukan apa yang bisa saya lakukan. Tiap-tiap hari saya belajar mengenal kemauan mereka supaya bisa melayani mereka. Itu saja , suster. Tidak lebih, tidak pintar.”

Pernyataannya benar-benar, menggetarkan perasaanku. Persis kumerasakan inilah rahasia ketenangan si Ibu dan kenyamanan dalam rumah itu. Ibu selalu belajar… dan belajar terus mengenal kemauan anak-anak dan suaminya untuk bisa melayani mereka. Bagiku, peryataan ibu ini menginspirasiku. MENERIMA, BELAJAR terus-menerus mengenal kemauan mereka, kebutuhan mereka supaya bisa melayani mereka.

Aku ingat, beberapa hari sebelumnya aku mengikuti retret.Pastor pendamping retret dalam setiap konferensi selalu menyebut kalimat ini “ accepting without judging”. Retret dengan tema “menghayati penderitaan Kristus” yang di dalamnya banyak merenung kisah yesus yang menerima tugas perutusan Bapa dengan konsekuensi sampai wafat di salib. Kata MENERIMA menjadi kata favorit yang diulang-ulang, yang terekam dalam ingatanku, yang pada saat itu, kurasakan contoh konkret dari pengalaman hidup si Ibu. Tentu, Ibu bercerita tanpa maksud apa-apa umumnya Cuma menjawab pertanyaanku dan sekadar mengakrabkan hubungan kami.

Namun, bagiku setiap kisah pengalaman hidupnya, apa yang kusaksikan dan kudengar lebih merupakan sebuah berkat tersendiri bagiku. Tuhan melengkapkan apa yang tidak kutemukan dalam permenungan waktu retret.

Sesudahnya aku banyak merenung bagaimana hubunganku dengan pasanganku yang dianugerahkan Tuhan padanya, yang kulayani setiap hari dalam tugas perutusanku. Betapa lebih banyak menghabiskan energy percuma karena ketidakmampuanku untuk mudah menerima. Menerima realita yang tidak sesuai dengan selera, ide, pikiran dan harapanku. Menerima orang-orang yang berbeda denganku, yang lamban, yang salah langkah, yang sagak bodoh, yang macam-macam singkatnya yang tidak kusukai. Dalam banyak hal aku cenderung complain yang akhirnya menambah ketegangan, menciptakan penyakit bagi diri sendiri. Pengalaman hidup si Ibu menggugah nuraniku dan merupakan penyingkapan dari Tuhan untukku : Menerima dan belajar terus-menerus setiap hari untuk mengenal kebutuhan dan kemauan mereka supaya bisa melayani mereka.

Pangkalpinang, Tues, 28 Agust 2009. 22.30 wib dari resume refleksi h martine

AKU TELAH MENEMUKANNYA



Terpujilah Engkau yang menyatakan kehendakMU kepadaku, meski lewat bias-bias perasaan dan intuisiku.Terpujilah Engkau Allahku yang berkenan memperhatikan kelemahan dan ketidakberdayaanku, yang memapah aku kembali untuk menyembuhkanku. Terpujilah Engkau, Allahku, yang dari jauh memandangku, seperti memandang pemandangan indah buah karya kasihMu yang ajaib dan agung. Terpujilah Engkau yang menyingkapkan selubung-selubung rahasia hidupku perlahan-lahan , sampai waktu yang tepat aku mengakui. Terpujilah Engkau Allahku, yang sanggup mendugai hatiku dan mengantarku perlahan-lahan mengerti diriku sendiri dengan semua gelagatnya. Terpujilah Engkau Allahku, yang tidak membiarkan aku berjalan sendirian, menyusuri padang hidup yang luas dan panjang. Terpujilaj Engkau yang memperhatikan aku, seperti seorang ayah yang kelihatan duduk dima termenung tetapi matanya awas memperhatikan anak-anakna bermain. Terpujilah ENgkau Allahku yang merawat aku seperti seorang yang merawat aku, yang mengenakan aku pakaian, yang memandikan dan melap tubuhku, yang memperhatikan setiap sudut tubuhku dan menjamahnya. Terpujilah Engkau Allahku, yang mengenal dengan baik pikiran dan kehendakku. Yang tahu dengan jelas ke mana aku akan melangkahkan kaki, yang tahu kapan aku ingin berbaring dan kapan aku enggan pulang ke rumah. Oh… sungguh Engkaulah Allahku, yang sangat mengenal aku dan tahun juga kapan aku lapar dan ingin makan. Terpujilah Engkau Allahku, yang mengajari aku belajar dan berpikir. Yang kadang-kadang memaksaku untuk melakukan yang benar dan menghindari yang salah, yang hanya mengelus dada kala aku terlalu berani untuk melakukan yang tidak pantas. ENgkau Allahku yang diam, dan Cuma diam , berdiam diri kala aku memberontak dan memaksa diri untuk berlari bermain sendiri meski Engkau tahu itu tempat tidak nyaman untukku dan tidak pantas untukku. Engkau Allahku, yang menunggu aku lama, sabar menunggu aku dari perjalanan yang sia-sia, yang lama yang tidak ada kabar berita untukMU. Oh… terpujilah Engkau Allahku, yang selalu hadir, kala kuperlu, dan tiba-tiab sudah ada di depanku, siap menolongku , saat banjir besar melanda hidupku, saat aku bingung, ketika tahu bahwa jalan yang kulewati dengan susah payah dan sekian lama ternyata menuju jurang tinggi dan dalam. Engkau Allahku, yang tidak pernah memarahi aku, karena aku nakal dan nakal sekali, yang terlalu berani bermain di liang ular beludak, tanpa berpikir bahwa itulah sarang sengatan bisa dan bisa mematikan. Engkau Allahku, yang hanya bisa memasang alaram dalam benak dan hatiku, supaya sedikit sadar dan mau pulang kalau ada singnal yang membahayakan. OH…. Engkaulah Allahku, Allah yang datang menjemputku saat aku tidak tahu lagi untuk pulang… menejmput, merangkul dan menggendongku pulang. Yang Cuma bertanya dengan satu kalimat klise, yang tidak bisa kujawab : “ke mana saja kamu selama ini?” Yach…Engkaulah ALLAHKU, yang tidak bertanya lebih karena tidak mau aku jadi malu, sebab dengan melihatMU datang saja, aku sudah merasa bersalah. Terpujilah Engkau , ya Allahku, Allahku yang menyelamatkan aku berulang-ulang, dari setiap bahaya yang luar biasa besar dan bencana dalam hidupku. Engkau Allahku yang selalu ADA, ADA dan hadir ketika kuteriak meminta tolong, atau ketika aku hanya melapor bahwa aku lelah, aku lemah, aku lapar, aku haus, aku pening, aku stress, aku malas, aku bodoh atau sekadar mengatakan aku ingin pergi bermain bersama kawn-kawaku. Engkau Allahku, Allahku yang selalu ada dalam kesadaranku, dalam keyakinan dan imanku.Allahku yang setia menungguh aku di rumah, yang tidak akan pernah tertidur.Allahku yang selalu terjaga dan menyelidiki di mana aku berada, ke mana aku pergi, dengan siapa aku berteman, siapa saja temanku dan apa saja yang kukerjakan. Engkau Allahku, yang sebenarnya tidak rela aku pergi jauh-jauh dariMu, tetapi yang tidak sampai hati melarangku karena terlalu menyayangiku dan tidak tega melihat air mataku. Terpujilah Engkau ya Allah, Allahku, yang setiap kali mengutus pesuruh-pesuruhMu untuk mengabarkan keadaanMu dan memberitahu aku bahwa kerinduanMU tak terbendung , bahwa Engkau sudah lama sekali menunggu aku pulang. Bahwa Engkau ALLAHKU, “yang rapuh” yang tidak bisa bertahan sendirian tanpa aku yang Kausayangi di sampingMU, yang memenuhi pikiranMu dengan diriku, yang setiap kali makan, ingat apakah aku sudah makan, yang tidak ingin aku diperdaya atau ditipu orang dan dimangsa binatang buas. Engkaulah ALLAHku, Allahku, yang tidak banyak pertimbangan, ketika tahu aku sakit, segera…sungguh segera datang dan menjengukku, menjamah dan merawatku. Oh… Engkaulah Allahku, yang setia, sangat setia dan penyayang, melebihi segala ayah di bumi, semua ibu di muka bumi, melebihi semua induk binatang yang mencintai anak-anaknya, melebihi seorang suami yang mencintai istrinya, melebihi seorang istri yang mencintai suaminya, melebihi seorang ibu yang mencintai anaknya. Engkaulah Allahku, yang dapat berbuat apa saja yang Kaumau, tetapi yang memilih membiarkan aku belajar sendiri, mendengar sendiri, melihat dan mengalami sendiri dan melakukan sendiri. Terpujilah Engkau Allahku, Allah yang diimani ayahku, yang padaMu dia bertumpu, berharap , berdoa dan menyerahkan anak-anaknya. Engkaulah Allah ayahku, yang padaMU dia berteriak minta tolong dan menyebut nama anaknya satu persatu serta menyerahkannya padaMu untuk dijaga dan disayang. OH..Engkau Allahku, tidak sekadarn Allah ayahku Martinus, atau Allah ayahku Yakub atau Abraham, atau Allah tetangga dan guruku, atau Allah yang dikotbahkan oleh imam-imammu yang kudus. Sesungguhnya Engkau ALLAHKU, Allahku yang menamaiku aku, yang member aku nama bagus, yang mengandungkan dan melahirkan aku, yang menyusui dan memberi aku minum, yang menjagaku dari segala bahaya, yang telah mengajar aku berbicara, makan dan berjalan. Engkau juga Allahku, yang mengajarku bagaimana menghadapi musuh dan bagaimana mencintai. Engkau Allahku yang menurunkan sifat dan kehendakMu padaku, yang sabar menunggu sampai hari ini, saat ini, kapan aku berjalan untuk melakukan suruhanMu yang dari dulu itu, sudah kusampaikan, yang tahu kalau aku berpura-pura tidak tahu apa-apa, Allahku yang tahu, kalau aku sengaja melarikan diri, sengaja berlama-lama di tempat orang, dan sengaja tidak pulang-pulang. Engkau juga ALLAHku yang tahu,bahwa aku sangat membutuhkanMu, bahwa aku sebenarnya tidak bisa sendiri, tetapi pura-pura bisa dan pura-pura mendiri. Engkau ALLAHku, yang tahu kalau aku bisa, sungguh bisa melaksanakan apa yang Kau mau, ENgkau Allahku, yang tahu bahwa aku sanggup tetapi enggan dan malas dan terlalu manja , tidak tekun dan pandai melawanMu. Oh… terpujilah Engkau Allahku, Allahku yang hidup, kudus, setia.Allahku yang sabar dan penyayang dan mencintaiku, sampai menderita, Allahku yang menderita karena terlalu mencintaiku. Pangkalpinang, Fri, 25 Sep 2009 07.10 WIB terinspirasi dari LUk 9 : 18 – 22 Pengakuan Petrus. ( dari resume refleksi pribadi H.Martine)

RASANYA SEPERTI PULANG KAMPUNG







Hatiku bersorak ria dan jiwaku bersukacita, kalimat indah yang kupinjam dari Magnificat Maria, Bunda Nasaret. Sepanjang hari yang penuh kenangan dan membuka wawasan baru dalam pengalaman hidupku. Sebenarnya aku malu, sungguh malu, saat mendengar komentar seorang ibu muda yang sedang menggendong putranya: “ saya sudah 10 tahun tidak pernah melihat seorang suster. Anak saya tidak tahu, suster itu apa dan bagaimana, Kalau di flores, banyak suster, bisa dijumpai. “ yang lain malah berkisah, selama 29 tahun merantau dari Flores dan menetap di Bangka tidak pernah melihat suster.

Maklum, ini Bangka. Pulau yang kaya dengan timah tetapi miskin suster. Mendengar kata-kata mereka yang meluncur dengan polos, aku malu. Sungguh malu sebab kehadiranku di Bangka sudah lebih 16 tahun, tetapi tidak mengenal satu pun dari saudara-saudariku dari Flores itu. Bahkan lebih memalukan, kampung Air Semut yang kami datangi itu, bahkan baru kudengar. Aku Cuma tahu kampung Air Itam, Air Mesu, Pantai Air Anyer, Air Bara. Air Semut benar-benar luput dari pengetahuan umumku. Memalukan.

Anak-anak keturunan suku Flores perantau yang berdomisili di stasi Air Mesu ( Paroki Koba – Bangka) menonton kami dari jauh. Mereka memperhatikan kami, sepertinya makluk baru yang turun dari langit. Ketika diajak bersalaman, mereka malu dan tunduk. Entah apa perasaan mereka, takut, malu? Yang jelas kupikir, mereka merasa kami makluk asing yang masuk kampung mereka. Untung, orang tuanya yang nota bene asli kelahiran Flores, bisa menyapa kami sebagai suster dan bisa berkomunikasi dengan baik. Untung juga, lama-lama anak-anak itu mau digendong suster, mau menjawab pertanyaan suster, dan mau berakting untuk berpose bersama.

Menyusur daerah ini yang baru pertama kali kudatangi, itu pun kebetulan diajak, sebagai fotografer, aku merasa seperti pulang kampung. Di sepanjang jalan masih banyak pohon-pohon, bahkan ada ladang yang ditanami padi yang menghijau indah dari kejauhan. Rumah-rumah sederhana, dari papan dan pelupu( sebutan di kampung untuk dinding rumah dari bambu cincang), ayam kampung dan anjing kampung yang berkeliaran bebas di halaman, bahkan turut berteduh dekat-dekat tempat kami berkumpul. Jalan beraspal namun bisa dihitung berapa kendaraan yang lewat. Cuma motor yang sekitar sepuluh atau limabelas menit melintas di jalanan. Wajah-wajah yang dibaluti kulit hitam manis, dengan bola mata indah. Untung anak-anak itu sudah basteran, kata ibu mereka dan minum air Bangka, jadi rambutnya lurus atau berombak, jarang yang rambut kriting, seperti punyaku yang menandakan betapa sungguh asli Flores. Bentuk rumah dengan tenda-tenda kecil dari papan di bawah pohon nangka atau mangga untuk tempat magang dan bersenda gurau, … pokoknya semua-semuanya mengingatkan aku akan masa kecil di kampung yang lucu, dengan suasana yang mirip kutemukan di Air Mesu. Belum lagi, aku merasa anak-anak itu wajahnya mirip teman-teman di kampungku, bahkan mirib tetanggaku. Dan seorang Bapak berperawakan kecil itu mengingatkan aku akan bapaku di rumah, yang kini sudah tua. Ah…. Semuanya bagaikan di rumah, di kampung, Apalagi kami disuguhi makanan nasi merah, sup ayam kampung, telur ayam rebus bale tomat, duduk bersila di lantai di atas tikar… wach semuanya seperti di kampung. Sejenak aku lupa, kalau aku berada di Pangkalpinang.

Memalukan, bila perasaan hatiku ini berlebihan, tapi inilah kenyataan sebuah rasa yang hadir dengan bebas saat melihat, mengalami sebuah situasi yang baru. Sampai kini, suasana yang familier dari om-om dan tante di Air semut tertera jelas dalam ingatanku. Tertawa yang renyah dan kencang gaya khas Flores yang menghalau galau di hati masih terngiang jelas di telingaku. Dan terutama kata-kata ibu itu « sudah 10 tahun tidak bertemu suster, dan ajakan mereka agar kami datang lagi… menusuk-nusuk hatiku.

Yach… aku namakan diriku orang bangka, yang sudah mulai menyatu dengan budaya Bangka, tapi itu di kota. Kota pangkalpinang yang telah membentuk aku sekian tahun. Pagar-pagar kokoh biara, dengan gerbang yang terbuka pada jam tertentu, telah membentuk aku nyaris lupa ‘ dari mana aku berasal, di mana sekarang aku berada, dan untuk apa aku ada ?

Aku yang sudah lelah dan menjadi agak risih kalau berjalan kaki.Yang juga sudah tidak tahu naik sepeda seperti dulu saat masih di novisiat. Aku yang sudah tidak tahan kalau duduk bersila di lantai tikar dan mesti kipas-kipas jubah untuk duduk di atas papan. Aku yang merasa nyaman, duduk di atas motor dengan kecepatan tinggi melaju seperti pembalab, yang juga sedang bermimpi duduk di belakang setir mobil seperti mereka-mereka itu. Aku tidak pernah lagi tahu bagaimana caranya menimba air di sumur. Aku yang tidak tahan duduk diam dan tidak bisa bersahabat lagi dengan nyamuk-nyamuk kebun yang berdengung ria seperti dulu. Aku yang pasti tidak tahan lagi berjalan di atas tanah tanpa alas kaki, karena sekian tahun selalu beralas kaki bahkan dilengkapi dengan stoking dan kaos. Aku yang sudah tidak sabar mendengar cerita bapak-bapak dan om tentang anak dan keluarganya, karena sebentar-sebentar meraih handpond dari kantong untuk melihat ada SMS. Aku yang sudah enggan menyapa dan sekadar memeluk anak-anak itu.

Benar-benar… pikiranku menjadi kacau dan sampai terbawa mimpi. Mimpi seolah-olah aku di kampung. Kunjungan ke Air semut telah menghidupkan ingatanku akan akarku di mana aku bertumbuh …. Di kampung.Dan akan menjadi lucu, meski memang pantas aku menerima perubahan dan perkembangan diriku kalau aku sampai aku tidak tahu bagaimana harus menyapa “ orang kampung”.

Teringat olehku dan menjadi pertanyaan besar di kepalaku. Mengapa Yesus hadir di dunia ini dan dibesarkan di kampung Nasaret? Kampung yang tidak terkenal seperti Yerusalem misalnya? Nasaret… oh Nasaret…. Tempat Sang Putra Allah, hidup dan dibesarkan. Yesus tidak pernah lupa Nasaret. Kesederhanaan, kesahajaan, sikap familier dengan anak-anak, dengan pendosa, dengan siapa saja…. Yang dipunyai Yesus itu…. Terbentuk dari alam Nasaret. Yach… Nasaret....

Semestinya aku… yang dari kampung ini kampung yang sudah lebih baik, maju d ari Nasaret jaman dulu, tahu bawa diri, tahu bagaimana menghidupi “KESEDERHANAAN” dalam hidupku. Bagiku yang seorang suster KKS, kesederhanaan bukan Cuma milik mereka-mereka di Air Semut itu…. Tetapi semestinya menjadi milikku, karena itu adalah salah satu butir spiritualitas KKS yang pokok. Kalau sampai aku yang dari kampung, dibesarkan di kampung, tidak tahu bagaimana hidup SEDERHANA, sungguh sebenarnya lebih memalukan dari Cuma sekadar mendengar komentar ibu muda itu yang sudah lebih dari 10 tahun tidak bertemu suster.

Terima kasih Tuhan, buat pengalaman indah ini. Kunjungan keluarga ke Air MEsu, Koba- Bangka Minggu, 29 Nop 2009 bersama Sr. Claudia, Ancilla, Petra dan Luois. Juga saudara yanto dan adik Sofi. Indah karena Tuhan mempertemukan aku dengan DIRINYA dan diriku.

Berziarah Ke Makam Para Suster dan P. Mario Jhon Boen





Minggu, 08 November 2009

KEGIATAN KKS





Mengenal dan mencintai Pendiri Mgr. Vitus Bouma, sscc



Mgr. Vitus Bouma, SSCC lahir dari pasangan wietze Rinus Bouma dan Agatha Westerdorp pada tanggal 6 Desember 1892 di Oude Mirdum propinsi Friesland, Belanda dengan nama Wietze Bouma. Kelahirannya menjadi momen penting yang pantas dikenang oleh para suster KKS.
Bagi Suster KKS, Mgr Vitus Bouma, KKS mendapat tempat yang sangat istimewa. Beliau adalah Bapak pendiri Kharismatis Kongregasi Suster Dian Keluarga Suci dari Pangkalpinang ( KKS). Disebut pendiri kharismatis karena Beliau yang meletakkan dasar pendirian KKS, beliau yang memiliki visi cemerlang bagi masa depan Gereja Indonesia, Pangkalpinang khususnya.
KKS hadir di bumi Indonesia, di tanah Bangka sejak tahun 1937, pada masa Mgr. Vitus Bouma, SSCC menjabat sebagai Prefek Apostolik Bangka Belitung. Perjalanan lahir dan berkembangnya KKS tidak semulus jalan tol. Berbagai tantangan menghadang antara lain masa perang dunia II, masa pasca kemerdekaan RI, sampai akhirnya secara konstitusional dengan adanya Dekrit Pendirian Kongregasi yang dikeluarkan di Pangkalpinang pada pesta St. Yosep, 19 Maret 1960 oleh Mgr. Nikolaus Petrus Gabriel van der Westen SS.CC yang menjabat sebagai Vikaris apostolik Pangkalpinang pada saat itu. Oleh KKS Mgr van der Westen dianggap sebagai pendiri kanonik.
Tahun 2010 mendatang dijadikan tahun penuh syukur dan kenangan di mana para Suster KKS merayakan keberadaannya secara konstitusional selama 50 tahun. Berbagai kegiatan rohani telah direncanakan untuk menyongsong perayaan agung ini. Tentu, nama dan semangat Mgr. Vitus Bouma, SSCC dikenang dan didengungkan secara lebih istimewa.
Siapakah beliau? Pepatah mengatakan: tak kenal, tak sayang. Mengenal sejarah hidup, semangat, visi misi serta kharisma dan spiritualitas beliau dapat mengantar kita untuk menyelami secara mendalam kharisma, spiritualitas dan khazanah warisan Kongregasi.
Secara khusus Gema Familia akan memuat kisah hidup dan semangatnya bagi kita dalam edisi mendatang.***
Monsinyur Bouma adalah seorang pembimbing yang istimewa dengan kebijaksanaan yang besar, dan juga pintar sekali. Dalam pergaulan, beliau sangat sederhana, dan seorang pendiam, dan tak lancar berbicara, tetapi di manapun Beliau hadir, maka orang menjadi tenang; Beliau disayangi dalam masyarakat katolik. Beliau sangat memperhatikan para misionaris dan mereka percaya akan Mgr. Bouma.” ( dari : in memeriam, oleh P. Van Thiel, SSCC)
Pendiri Karismatis : Mgr. Vitus Bouma SSCC (Wietze Bouma)
Prefek Apostolik Bangka – Biliton.
Lahir : Oude Mirdum, 6 Desember 1892
Dari Pasutri :Wietze Rinus Bouma dan Agatha Westerdorp
Baptis di Paroki Westerdorp
Wafat : Lubuk Linggau, 19 April 1945
Semboyan : “NISI DOMINUS AEDIFICAVERIT”
( Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah,
sia-sialah usaha orang yang membangunnya)
Visi dasar
“Semua orang mengalami kehadiran yang Ilahi di dunia ini, terutama di dalam keluarga-keluarga di Asia, dengan mentalitas ketimuran sesuai teladan Keluarga Suci”.
1. Pendidikan di Seminari :
a. Masuk seminari rendah SS.CC tahun 1908 di Grave, Belanda Selatan.
b. Lulus seminari tahun 1913
2. Pendidikan Biarawan:
a. Masuk Novisiat : 10 September 1913 ( 21 tahun ) di Tremelo di Belgia.
b. Penerimaan jubah : 23 September 1913 dan diberi nama : “Vitus”.
c. Pengikraran kaul : 27 Januari 1915, di Grave.
Vitus mengikrarkan kaul kekal tanggal 18 Maret 1918 di Grave. Sebagai seorang frater , ia sempat berkarya sebagai guru selama lebih dari 4 tahun samapi September 1920. Dia dikenal sebagai guru yang pandai, tak kenal lelah, rajin dan berbakti. Vitus juga secara teratur mengarang dalam majalah misi De Zelatur, sebuah majalah khusus untuk muda-mudi. Tahun 1919 Pater SSCC mulai menerbitkan suatu majalah bulanan untuk mempromosikan aksi misi umum “wereldapostolaat”. Vitus banyak menulis artikel-artikel khususnya mengenal karya misi di seluruh dunia , misi di antara orang-orang eskimo, misi di Oceania. Tahun 1920 Vitus melanjutkan studi teologi di seminari tinggi di Vankenburg. Dalam rangka studi Vitus mengorganisisr banyak konferensi. Vitus dikenal sebagai seorang yang berpikir dan bekerja sistematis.
Tanggal 11 Maret 1923, Vitus ditahbiskan sebagai imam. Agustus 1923 Vitus diutuss sebagai guru di seminari rendah di Sint Oedenrode. Sebagai guru, Vitus dikenal sebagai seorang yang menguasai pengetahuan bahasa-bahasa klasik dengan sangat baik, kadang acara harian diganti dengan jam pelajaran mengenai karya misi yang sangat menarik. Vitus suka bercerita mengenai negeri Tiongkok dan tertarik pada negeri dan bangsa ini karena mempunyai beberapa sifat yang menyerupai sifat dirinya sebagai orang Fries, yakni pintar, rajin dan tekun.
P. Jan de Weyer, SSCC mantan murid Vitus memberi kesaksian bahwa baginya Vitus adalah sosok guru yang pintar dan luar biasa tekun : “ Beliau sangat berdisiplin, mampu membri semangat besar kepada mahasiswa, sehingga emreka belajar dengan senang ehati. Cerita-ceritanya tentang karya misi sangat mempengaruhi mahasiswanya.:
Pada masa itu Vitus juga menjabat sebagai redaktur suatu majalah lain yang sayang sekali hanya dapat terbit dua tahun. Di Sint Oedenrode, Vitus diangkat sebagai prior para religius di situ. Vitus berkarya sampai ditunjukkan untuk akrya misi di bangka Belitung pada bulan Juli 1925.
Tanggal 28 September 1926 Vitus berangkat ke tanah misi Bangka Belitung dengan kapal laut tiba di Singapura 21 Oktober 1926. selama 3 bulan di Singapura Vitus belajar bahasa dan dasar-dasar budaya Tionghoa, azas-azas penting adat istiadat bangsa Timur dari seorang misisonaris P. Gazaut, MEP.Vitus dengna tekun belajar bahasa Tinghoa sehingga dalama waktu 3 bulan, dia sudah dapat membawakan sakramen pengakuan. Vitus sadar, bahwa seseorang baru bisa mengeluarkan isis hatinya dengan baik, kalau dia dapat mengutarakan bahasanya sendiri. Sebagai seorang misionaris Vitus sanagt memperhatikan bahasa setempat. Pengalamannya dengan P. Gazaut , MEP dan kontak pribadi dengan keluarga-keluarga China memberi banyak pengalaman dan bekal bermanfaat bagi Vitus dalam karya misinya di Pulau Bangka .
Janauri 1927 Vitus berangkat ke Bangka bersama P. Petrus Lahaye. Vitus diberi tugas mempersiapkan diri untuk karya pastoral di Pulau Belitung. Bulan April 1927 Vitus berangkat ke Belitung menjadi pastor pembantu membantu P. Marcellus van Soets. Di belitung Vitus mencoba memulai sekolah dasar, tetapi tidak berhasil. Tidka jelas penyebab kegagalan ini, mungkin umat Tionghoa belum cukup percaya akan sekolah bukan Tionghoa, mungkin juga karena Vitus belum mahir berbahasa China.
Juni 1927 Vitus bersama marcellinus van Soets ke Bangka sebuhungan dengan kunjungan pembesar kongregasi dari Belanda Pater Provinsial Nobertus Poelman. Vitus mendapat tugas baru darinya yang lebih definitif. Vitus ditugaskan di Bangka dengan pesan khusus yakni memperhatikan pendidikan di sekolah.
Tanggal 29 Mei 1928 Vitus Bouma diangkat sebagai Prefek Apostolik Bangka Beliton menggantikan Mgr. Herckenrath, SSCC .
Ketika Kongragasi SSCC mengambil alih misi di Bangka sari Pater Kapusin,telah ada kapela kecil di Sambong, Belinyu, Manggar – Belitung dan kepela di Sungai selan yang sejak tahun 1924 tidak dipakai lagi. Pada masa Mgr Herckenrath ia telah memebri perintah untuk mendirikan kapela di Mentok. I ajuga telah mulai mengurus pendirian sekolah di Mentok setelah Kongregasi suster Penyelenggaraan Ilahi di belanada berjanji emngirimkan suster-susternya ke Bangka. Tahun 1925 delapan suster pertama tiba di Mentok. Beliau juga mendirikan gereja besar di Moro, kep. Riau untuk masyarakat China Katolik yang terdiri dari nelayan-nelayan China. Para misionaris pada tahun 1928 ada 3 bruder SSCC, 8 pastor SSCC dan 15 suster Penyelenggaraan Ilahi. Ketika Vitus Bouma mengambil alih misi dari Mgr Herckenrath jumlah orang katolik kira-kira 600 orang tersebar di P Bangka, P.Belitung dan Kep. Riau dari jumlah penduduk seluruhnya 350 ribu. (bersambung

Selama tahun-tahun pertama sebagai Prefek, Bouma mengusahakan membangun sebanyak mungkin gereja, pertama di Pangkalpinang, pusat perusahaan timah Bangka. Setelah Beliau melihat, bahwa stasi Sambong merosot dalam hal ekonomi, sehingga tambang-tambang timah mulai ditutup. “Sambong sudah mati”, begitulah Bouma menulis dalam ikhtisar tahunan pada tahun 1928. Lokasi stasi Sambong kurang bagus, yaitu di tengah-tengah tambang-tambang timah disana mulai ditutup. Maka sekolah di sana ditutup juga pada bulan Agustus. Stasi Sambong tak berguna lagi dan Vitus mengambil inisiatif untuk berpindah ke Pangkalpinang secepat mungkin. Bouma memutuskan untuk tinggal di Pangkalpinang. Dibelinya sebidang tanah yang luas, dekat pasar ikan, demi bangunan-bangunan nanti. Tanggal 24 Mei 1931 Gereja dan gedung paroki baru selesai dibangun. Pada tanggal itu gedung-gedung diberkati, dan Mgr. Bouma pindah dari Sambong ke Pangkalpinang.Dekat gereja masih dibangun suatu rumah, tempat tinggal sementara untuk para pastor dan suatu sekolah yang kecil, dimana pater-pater mulai mengajar. Sekolah ini dibuka 23 Juni 1931.
Pada tahun 1933 Bouma berhasil menggariskan suatu kontrak dengan propinsi Belanda Kongregasi Budi Mulia, untuk memulai berkarya di Misi Bangka. Itu terjadi tanggal 9 Juni 1933. Pada tahun 1934 bruder-bruder pertama tiba di Pangkalpinang.Pada tahun 1938 suster-suster dari Penyelenggaraan Ilahi, yang sudah berkarya di Mentok dan Belinyu, memutuskan untuk mulai berkarya juga di Pangkalpinang. Mereka mengambil alih sekolah dari pater-pater, dan mulai tinggal di pastoran. Pater-pater pindah ke Kampung Jelutung, dimana Monsinyur telah berhasil membeli suatu rumah yang murah.
Di Belinyu didirikan rumah biara suster-suster, dan suatu rumah untuk anak-anak yang sakit dan buta. Kompleks dibuka 22 Juni 1931. Stasi Mentok pun diperluas. Kapela yang dibangun atas inisiatif Mgr. Herkenrath diganti dengan suatu gereja yang masih dipakai sekarang. Pemberkatan pada 1 Oktober 1932. Untuk para suster dibangun suatu biara. Juga dibangun asrama dan sekolah. Gedung-gedung lama di Sambong dibongkar dan dipindahkan ke Kampung Jeruk (Kebun Sahang). Perumahan diberkati pada tanggal 15 Agustus.Di Sungailiat dibangun suatu sekolah yang bagus sekali dan rumah untuk bruder-bruder. Di Manggar – Belitung , di dusun Samak, dibangun suatu stasi yang baru.
Kepulauan Riau pun mendapat perhatian cukup banyak dari Bouma. Di ibu kota Tanjungpinang didirikan suatu gereja baru yang diberkati 5 Mei 1933. Di Pulau Karimun Bouma membuka suatu stasi baru, supaya dari situ pater-pater dengan mudah dapat berlayar ke Singapore. Kapela dari stasi misi ini diberkati tanggal 14 Nopember 1933. Ketika Bouma mengambil inisiatif untuk membangun sekolah di Karimun, beliau memakai metode yang sama yang telah dipakai di Sambong. Gereja besar di P. Moro tak dipergunakan lagi karena orang-orang katolik, yang kebanyakan bermatapencarian sebagai nelayan pindah ke tempat lain. Gereja dibongkar dan bahan-bahan dipakai untuk suatu gereja yang lebih kecil di Moro dan untuk sekolah di Karimun. Di Moro umat katolik tidak menyenangi perubahan ini tetapi Bouma meneruskan rencana-rencananya.
Kata “Nisi Dominus aedificaverit”, dipakai Mgr. Bouma sebagai semboyan dalam lambangnya: “Kalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya.” Dalam segala usahanya Bouma percaya akan Tuhan, tetapi Bouma tidak menyerahkan satu halpun kepada takdir. Beliau sendiri mengukur tanah-tanah dan mengerjakan sendiri segala rencana sampai sekecil-kecilnya. Dalam segala usaha-usaha ia dibantu oleh bruder Gerard Jeanson SSCC dan kemudian oleh bruder Antonius Bruijns SSCC, setelah bruder Gerard meninggal. Ketiga religius ini menghadiahkan kepada misi sebelum perang dunia II banyak gedung yang bagus dan berkualitas tinggi.
Aktivitas pembangunan nyata terlihat di bawah kepemimpinannya. Karena itu di Bangka Belitung beliau dinamakan “ Si Pembangun”. Malahan kadang-kadang oleh orang Belanda namanya salah ditulis, bukan Bouma melainkan Bouwman artinya “pembangun”.
Sumber : buku Monsegnur Vitus Bouma ( 1892 – 1945) yang disusun oleh Jan Wouters SSCC Pangkalpinang 2000).
Sebagaimana julukan “ Si Pembangun”, Bouma tidak hanya memperhatikan perkembangan kota Pangkalpinang –Bangka tetapi juga di tempat lain, Di Belinyu misalnya, didirikan rumah biara bagi para suster dan rumah untuk anak-anak yang sakit dan buta pada tahun 1931 tepatnya tanggal 22 Juni. Kapela di Mentok diganti dengan bangunan gereja yang diberkakati tanggal 1 Oktober 1932 dan masih dipakai sampai sekarang. Dibangun pula di Mentok biara untuk para suster dan sekolah yang masih bisa ada sampai kini. Di Sungailiat, dibangun sekolah, dan rumah biara untuk bruder.
Tidak Cuma Bangka yang menjadi perhatian Bouma. Di Manggar –Belitung dbangun stasi baru. Di kepulauan Riau yakni di Tanjung Pinang didirikan gereja baru . Di P.Karimun dibuka stasi baru agar mempermudah para imam ke Singapura. Pembukaan stasi baru dan juga sekolah di Tanjung Balai Karimun. Gereja di Moro dibongkar dan dibangun kembali yang lebih kecil sementara bahan bangunan dipakai untuk membangun sekolah di Tanjung Balai –Karimun.
Bouma, tidak cuma berpikir dan mengatur, tetapi terlibat dalam pembangunan tersebut. Beliau sendiri mengukur tanah dan mengerjakan sendiri segala rencana sampai sekecil-kecilnya. Dalam usaha pembangunan itu, ia dibantu oleh bruder Gerard Jeanson ,SSCC dan kemudian bruder Antonius Bruiins setelah bruder Gerard meninggal dunia. Mereka bertiga menghadiahkan kepada misi banyak gedung yang bagus dan berkualitas sebelum perang dunia II.
Dalam segalanya, Bouma berpegang teguh pada semboyannya, yakni Nisi Dominus Aedificaverit yang diambil dari mazmur 127 “ jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya”. Dalam segala usaha pembangunan itu baik bangunan fisik maupun bangunan rohani , jemaat yang semakin berkembang, Bouma percaya akan Tuhan, sungguh percaya akan peranan dan kuasa Tuhan yang melakukan segalanya. Bouma juga tak menyerahkan satu hal pun kepada takdir. Baginya, Tuhanlah yang membangun.
Seperti kita pahami bersama, bahwa setiap usaha pembangunan gedung, membutuhkan banyak biaya. Untuk proyek-proyek pembangunan tersebut, Bouma terpaksa meminjam sejumlah uang dan meminta kepada para imam-imam dan bruder –bruder waktu itu untuk hidup sesederhana mungkin.
Memang cara untuk mendapatkan uang adalah penghasilan dari kebun lada , milik misi di Kampong Jeruk-Pangkalpinang yang sejak diambil alih karya misi dari pater-pater kapusin sudah ada kebun karet. Bouma melihat bahwa harga karet rendah maka beliau memutuskan memperluas kebun karet menjadi kebun lada, yang diolah secara sangat baik dan profesional mengikuti metode-metode pemeliharaan lada. Tidak heran, sejak awal hasil kebun lada membawa sukses besar bahkan mendapat nama baik tidak hanya di Bangka tetapi terkenal di luar Bangka. Para ahli mengakui bahwa mereka belum pernah melihat lada berkualitas tinggi dan mereka menaruh penghargaan besar bagi managemen Mgr.Bouma.
Beliau sendiri, saat berlibur, tidak segan-segan memakai pakaian kerja dan turun ke kebun membantu bruder Pacomius dan bruder Antonius di perkebunan. Bagi Bouma, kebun lada ini tidak hanya sebagai sumber penghasilan materi yang menyokong berbagai kegiatan karya misi Bangka-Beliton tetapi juga sebagai “kebun anggur”. Di mana beliau mempekerjakan orang-orang katolik yang baik, yang oleh karena kesaksian hidup mereka yang baik, dengan sendirinya mengundang orang untuk percaya kepada Tuhan.***