Jumat, 14 Oktober 2011

UNTUK SEBUAH NAMA

Untuk sebuah nama

Aku belajar untuk berani mencari yang hilang dari diriku. Meski semula aku tak tahu kalau sejak awal aku telah kehilangan semua dan banyak yang sangat mempengaruhi hidupku selanjutnya.

Untuk sebuah nama

Aku juga telah terlalu berani berjalan dalam tantangan hebat yang menekan seluruh rasa dan keberadaan. Yang bagaikan berani menyebrang sungai yang berarus deras dengan resiko terbawa arus atau tenggelam.Tapi syukur buat kemuliaan Tuhan, tidak pernah aku sampai tenggelam meski ada saat ketika terseret arus deras namun terhempas pada muara yang masih menguntungkan. Meski rasanya jadi perut kembung karena terminum air kotor itu dan harus menanggung penyakit-penyakit gara-gara itu, tetapi harus ditanggung karena sudah terlanjur.

Untuk sebuah nama

Aku juga telah rela melepaskan banyak yang menyenangkan rasa, yang menggelitik nuraniku, yang memancing emosiku untuk memilih pergi atau tinggal. Berdiam diri atau berangkat. Yang bagi orang lain mungkin soal kecil tidaklah butuh banyak pertimbangan, Namun bagiku, pilihan untuk berdiam di rumah atau pergi adalah masalah besar. Menjadi besar problemnya, karena kukenal diriku bukan orang rumahan yang betah berlama-lama di rumah sepanjang hari dan malam. Banyak waktu pilihan sering kali salah, karena kakiku tidaklah sekuat kemauanku untuk tinggal. Semudah aku memutuskannya, semudah itu pula kaki melangkah.Dan tahukah Anda bahwa setiap kali ketika telah melangkah jauh, aku selalu akan berjalan pada jalan yang salah dan selalu menyesal dan memutuskan untuk pulang.Kembali ke rumahku yang sebenarnya adalah tempat yang paling nyaman dan aman untukku.

Untuk sebuah Nama

Aku akhirnya harus berlelah-lelah untuk menarik kembali kaki yang telah jauh berjalan dan harus berperang dengan segala yang ada untuk tidak melangkah maju lebih jauh dan semakin jauh meninggalkan rumahku. Bukan waktu yang singkat kelelahan untuk menarik kaki pulang.Dan memang harus pulang. Pada saat yang sama seperti itu, aku harus berpamitan dengan orang-orang baik, di sepanjang perjalanan bersama itu. Orang asing yang kutemukan di sepanjang jalan, kami yang selalu bersama, bersenda gurau dan berbagi bersama entah itu makanan atau cerita yang membuat kami tak begitu merasa lelah dalam perjalanan.

Untuk sebuah Nama

Aku kadang harus membohongi orang-orang asing teman seperjalananku itu, bahwa terlalu ada yang penting dan perlu dan aku harus pulang.Meski mereka berkali-kali melarangku untuk kembali, tidak pernah aku mengikuti permintaan mereka. Aku tidak tahu, sudah berkali-kali selalu sama dan banyak kali orang-orang asing yang baik itu merasa kecewa bahkan ada yang merasa seolah-olah dipermainkan. Tapi syukur, aku tidak terlalu peduli dengan kata orang dan permintaan mereka. Apa yang penting adalah rasa hatiku dan gerakan hatiku yang memerintah aku pulang, aku pasti pulang, apapun alasannya.

Untuk sebuah Nama

Aku mesti selalu pulang sendirian, karena semua orang dan teman-temanku ke sana, aku ke sini. Betapa sedih dan merananya hati, ketika mengetahui bahwa jalan pulang itu, bukanlah jalan yang sama waktu kami susuri dalam keberangkatannya. Tidak tahu, siapakah yang membawaku berjalan pada jalan itu. Mungkin karena terlalu sedih, pandanganku tertutup pada jalan di depanku. Aku hanya tahu bahkan terkejut, ketika tiba-tiba sudah merasa masuk sebuah hutan lebat, sendirian. Di sana ada banyak bunyi-bunyian yang menakutkan, gelap dan pekat dan tiada manusia lain di situ. Ketakutan –ketakutan membuat aku lebih menajamkan indra untuk menghindarkan diri dari kemungkinan bahaya. Sepintar-pintarnya menajamkan indra, bahaya selalu ada karena itu hutan, yang sunyi dan sepi. Memang bukan harimau atau ular juga bukan beruang atau singa yang mengganggu, tapi Cuma semut-semut kecil yang karena saking kecilnya tak nampak olehku dan seenaknya menggigit kulitku. Sedikit sakit dan gatal dan membuatku kesal, benar-benar kesal bahkan bisa marah. Tapi di tengah hutan, siapa yang berani marah?

Untuk sebuah Nama

Berkali-kali keluar masuk hutan lebat dan akhirnya tiba juga di tepian perkampungan yang menjanjikan sedikit harapan. Tersedia semua yang kuperlukan untuk pelepas lelah dan penat meski hanyalah bahan-bahan sederhana. Bahkan sering keberuntungan memihak aku.aku mendapatkan semuanya yang kuperlu tanpa membuang energy atau uang atau ditukar dengan apapun. Namun, bukanlah mudah berada di perkampungan asing, yang tiada henti memandang dengan sorotan mata tajam seolah hendak memangsa dan menyisakan ketakutan yang amat sangat. Rasanya lebih baik berjalan sendirian di hutan daripada di tengah perkampungan dengan taring-taring musuh yang terpasang siap menerkam.

Untuk sebuah Nama

Meski berlama – lama dalam perjalanan, tiba juga aku di rumahku dalam keadaan persis hampir habis batas pertahanan harapanku. Tiap kali aku kembali dalam keadaan semaput, dan tidak sadar siapakah yang memapah dan menggendongku masuk rumah, yang memulihkan energiku dan merawatku cukup lama, sampai aku sembuh. Sembuh dari kesadaran seolah seperti orang yang hilang ingatan, dan baru tahu bahwa sudah lama berada di rumah dan aku tidak sadar kapan kembali dan kini sudah segar lagi?

Untuk sebuah Nama

Aku mencari tahu ke sana kemari, siapa gerangan yang membawa aku pulang? Siapa gerangan yang memaksa kakiku melangkah sendirian dan menempatkan dalam batinku rasa takut yang hebat. Berlelah-lelah aku mencari tahu, tidak pernah ada yang tahu, siapakah dia yang melakukan begitu banyak untuk aku dan selalu berbuat begitu berkali-kali seumur hidupku.

Untuk sebuah Nama

Karena aku tidak mengenal dan melihat dengan mataku, mendengar dengan telingaku dan merasakan dengan intuisi batinku, siapakah dia.Maka aku memberinya nama, seseorang yang tidak punya nama. Dia menolongku saat aku tak sadar aku ditolong, dia menemaniku saat aku sendirian dan merasa tiada teman dan sahabat. Dia memapahku saat tak berdaya.Dia menjagaku saat terlelap tidur. Dia mencarikan makanan untukku saat aku lapar dan tak bertenaga untuk bekerja. Dia menyuapkan aku makanan saat aku tak berselera makan.Dia menggosokan obat pada kakiku yang tergigit semut-semut nakal itu. Dia membersihkan lukaku yang tak terawat dan berkenan membalut dengan perban dan obat yang entah dari mana didapatkannya. Aku tak pernah melihat wajahnya. Tak pernah mendengar suaranya, tak pernah mendengarnya berkisah. Aku tak pernah tahu darimana dia datang dan kemana dia pergi ketika aku sadar aku sudah dalam keadaan baik-baik. Dia datang sendiri tanpa kuundang dan dia pergi dengan bebas tanpa kuusir.

Untuk sebuah Nama

Yang telah melakukan segalanya untukku, aku tidak sanggup meninggalkan rumah ini lagi. Rumahku sendiri yang aku juga tak tahu, siapa yang membangunnya dan siapa yang menyuruh aku tinggal di sini. Aku merasa seolah sejak kecil aku pernah ke sini, tapi tidak kutemukan orang yang kukenal di bumi ini. Meski aku merasa kadang seperti diculik begitu saja, diambil dari duniaku begitu saja, aku senang juga karena di rumah itu ada segalanya. Tetapi, tahukah Anda bahwa di rumah itu aku sendirian, benar-benar sendirian dan banyak yang harus kulakukan tanpa aku tahu sebelumnya tugasku apa. Tahu-tahu hari-hariku banyak kerjaan bertumpuk-tumpuk. Entah dari mana semua itu. Lucunya, aku mau mengerjakan juga. Kadang aku merasa seperti robot, atau sepertinya dirinya sudah dijual kepada orang itu, yang tidak pernah menampakkan wajahnya tetapi selalu ada untuk aku.

Untuk sebuah Nama

Aku mesti tinggalkan segala kesenangan dan hobiku, selera dan teman-temanku.Meski aku kadang marah besar, ketika aku pergi dari rumah itu, tak ada yang melarangku dan rasanya dia setuju saja.memang aku tidak pernah meminta ijin darinya, karena aku juga tidak tahu dia di mana, bagaimana caranya meminta ijin untuk pergi bermain sebentar dan mencoba banyak hal baru di seberang sana. Aku berprinsip kalau tak ada yang melarang dan tidak kepada siapa-siapa bertanggungjawab mengapa meski aku membuang kesempatan untuk bersenang-senang. Tapi, asal Anda tahu saja, tanpa aku sadar mungkin dia membuntuti langkahku, dan tahu semuanya yang kulakukan.Sepertinya dia mengenal siapa teman-teman bermainku, di mana aku pernah singgah. Bahkan sepertinya dia juga tahu, mana teman yang baik, mana yang kurang baik, mana yang memanfaatkan kebodohanku, mana yang mungkin berpeluang menjebakku. Sepertinya dia juga tahu, rasa perasaanku yang kadang ingin menetap di rumah orang karena terpukau oleh keramahan dan keindahan rumahnya serta kebaikan orang-orang si sekelilingnya.

Dan Untuk sebuah Nama itu

Aku juga dengan kasar dibawanya pulang, seperti seorang ibu yang memukul anaknya yang pergi berkeliaran dari pagi, bermain-main lupa makan, lupa belajar, sampai senja tak pulang.Tahu-tahu malam hari kembali ke rumah dalam keadaan takut, karena sudah lapar, haus, lelah, kotor, belum mandi dan mencemaskan ibu di rumah. Sama seperti ibu yang repot mengurus anaknya yang ekstra nakal, yang hanya bertahan 3 hari atau seminggu untuk patuh dengan nasihat sekaligus takut pada ancaman hukuman ibu, tapi sesudah itu pergi lagi bahkan yang lebih jauh lagi. Seperti seorang ibu, yang tidak tertahankan terpaksa harus mencari anaknya, menariknya dengan keras, memukul betisnya dengan kayu, menjewer kupingnya dan menarik tangannya untuk pulang, dan si anak harus malu di depan teman-temannya yang menyaksikan kelakuan ibunya.

Yach… untuk sebuah Nama

Aku harus pulang, setelah diperlakukan berkali-kali seperti ibu yang geram itu pada anaknya. Meski seperti itu, bagiku yang suka bermain, sudah senang sekali, dipukul tak masalah, dijewer tak soal, dipermalukan di hadapan teman-teman juga tak masalah, karena mereka-mereka juga sama diperlakukan ibunya seperti itu, aku sudah sangat bahagia. Sudah bersuka ria dan sempat berhapi-hapi dengan teman-teman. Tentu seperti siksaan ibu pada anak nakal itu, tugasku akan lebih berat supaya aku tidak perlu jalan-jalan, dan aku tidak diberi apa-apa termasuk uang jajan ( kemudahan) untuk berhapi ria. Dan seperti ibu yang menjadi kapok dan terpaksa menjaga anaknya lebih ketat, aku merasa persis seperti anak itu.

Untuk sebuah Nama’

Aku berkali-kali bertanya, siapakah yang seperti ibu anak nakal itu? Aku tidak punya ibu di dunia ini yang memperlakukan aku seperti itu. Siapakah dia itu, yang begitu peduli padaku? Bertanya terus melelahkan dan membuatku sakit parah. Aku memutuskan untuk berdiam diri dan tinggal di rumah saja. Dan tahukah Anda sahabatku, bahwa ketika berdiam diri itu, berhari-hari hampir sebulan, aku baru tahu, siapa kiranya dia yang ada di rumahku.Siapakah dia yang seperti ibu.Aku tahu dan mengenalnya karena ada di rumah dan melakukan apa saja yang menjadi tugasku. Batinku tahu sendiri, dia pemilik rumah itu, dia yang melakukan segalanya untukku.Dia juga yang bisa membalaskan perbuatan orang yang tidak adil padaku, dia yang menyediakan segalanya bagiku. Mau tahu bagaimana aku jadi mengenalnya?

AKU MENGENALNYA, KETIKA AKU BERADA DI RUMAHKU DAN RINDU PADANYA. KERINDUANKU YANG TIDAK PERNAH KUUNGKAPKAN PADANYA, TETAPI KUWUJUDKAN DENGAN MELAKUKAN SEMUA YANG DIKEHENDAKINYA. RUPANYA TANPA AKU MEMINTA, DIA ADA DAN HADIR DI HADAPANKU. DIA SENANG DAN BAHAGIA SEBAB MENEMUKAN AKU SEDANG MELAKUKAN KEHENDAKNYA. AKU JUGA BAHAGIA KETIKA TAHU, BAHWA DIA BISA TERSENYUM PADAKU, DIA TIDAK MARAH PADAKU, JUGA TIDAK MENGHITUNG-HITUNG MASA LALUKU. DIA JUGA TIDAK BERTANYA APA-APA. DIA JUGA TIDAK MALU DENGAN AKU.

SENYUMNYA, BENAR-BENAR MENGHANCURKAN PERTAHANAN HATIKU YANG HANCUR. TANGANNYA YANG SELALU TERULUR MENOLONGKU SANGAT KUKENAL. BUNYI LANGKAH SUARANYA SAAT MENEMANIKU BERJALAN DALAM KESUNYIAN DI HUTAN, SAMA DENGAN BUNYI LANGKAH YANG SAMA DI SINI. MESKI CUMA SEKILAS KUCERMATI WAJAHNYA, KETIKA FAJAR BARU MENYINGSING, AKU SUDAH TAHU SIAPA PEMILIK NAMA ITU.

NAMA YANG INDAH , YANG TIADA SEORANGPUN MENYAINGINYA. SENYUM MENAWAN YANG SANGAT MENGGODA DAN YANG ADA PADANYA, RUPANYA SEMUA YANG KUPERLUKAN DAN KUCARI SELAMA INI. JADI, KUPUTUSKAN, AKU TINGGAL DI SINI SAJA. MESKI HARUS SENDIRIAN, TAPI KUTAHU DIA TAK PERNAH TINGGALKAN AKU DAN DIA MENYEDIAKAN SEGALA YANG KUPERLU. DIA CUMA BUTUH AKU MELAKUKAN TUGAS YANG DIBERIKAN, YANG TIBA-TIBA SETIAP DETIK BEDA-BEDA DAN AKU TIDAK TAHU JELAS DIA MAU APA.

Sahabatku,

Sekiranya Anda mengerti ini, berbahagialah, sebab Nama itu tidak cuma sangat dikenal olehmu, tetapi aku tahu dia sahabatmu dan selalu bersamamu.

Untuk sebuah Nama itu

Rindu tak pernah pudar.Ke manapun pergi pasti akan kembali. Bagaimanapun besarnya pemberontakan, pasti akan taat. Meskipun marah, akan mengampuni. Meskipun kesal, akan selalu memberi kesempatan. Kalaupun hilang, akan tertemukan, kalaupun terjual, akan tergantikan. Karena Nama itu, hidup dalam batinku. YESUS, SAHABAT dan KEKASIHKU adalah pemilik NAMA itu.*** resume refl.h.martine

TETAP BERHARAP

Kasih Tuhanku,

Terlalu naïf bagiku untuk membayangkan masa-masa yang telah lewat dalam rajutan cinta yang sulit terlepas yang menandai jalan-jalan sempit dan berkelok-kelok yang telah menawarkan sejuta kepuasan dari dahaga hati yang tak tertahankan. Aku termangu dalam keterposanaan baru yang tidak ada sesuatu pun menghalangi aku untuk merebut semua yang pernah kuimpikan dan kubayangkan dalam hari-hari kelam penuh keraguan.

Aku menerima dengan penuh kesadaran apa yang perlu buat hidupku dan hidup orang lain, dalam kebebasan dan keleluasaan

Kasih Tuhanku,

Sepertinya ada banyak jalan yang terhampar di depanku. Terlalu banyak dan berkelok-kelok. Sepertinya belum pernah kususuri, sungguh belum pernah.Hari – hari merupakan hari yang selalu baru, sesungguhnya jalan-jalan adalah jalan yang juga baru. Seandainya aku tahu dari dulu, mungkin aku tidak begitu berani menyusuri jalan ini, Sungguh aku melewati jalan ini, karena sepertinya didorong sedemikian rupa untuk melewatinya dan tak disangka terlalu banyak hal yang terhampar di depannya. TIdak banyak orang kutemui di jalan itu, Cuma orang- orang asing, yang lalu lalang di sekitarnya, orang- orang yang tidak sedemikian ramah dan tidak mudah untuk ditemui,orang- orang seperjalanan yang ternyata punya tujuan sendiri-sendiri. Wach…. Bukan mudah untuk melewatinya, dan jalanan yang panjang ini tetap merupakan jalan yang sepi. Orang yang mengetahuinya tidak akan menyusurinya yang mengetahui arahnya, tidak akan berani berjalan bersama orang- orang asing itu.

Aku juga tidak tahu mengapa sampai hari ini aku tetap bisa menyusuri jalan ini dan sampai hari ini tidak sedikit orang yang kutemui. Sayangnya dan sungguh sayang , ada orang-orang asing seperjalanan yang kemudian tidak tahan dan segera berbelok arah dan kembali.

Kasih, Tuhanku,

Kenyataan membuktikan hari ini keadaanku tidak lebih baik dari kemarin, Tidak fisikku yang rapuh ini, yang serasa butuh banyak waktu untuk istirahat dan tidur. Perutku yang beberapa hari ini sedikit menarik perhatianku dengan sedikit gurat-gurat perih dan pedih yang aku juga tidak tahu menamainya apa sebagaimana orang medis menyebutnya. Tidak juga pikiranku yang senang sekali mengembara, sampai jauh…. Jauh sekali sampai di penghujung jalan. Coba …. Bayangkan tidak Cuma di taman Edensor buatan alam mimpi… tetapi dari Nasareth…. Ke Betlehem sampai ke Kalvari terus menuju Pangkalpinang, dan dalam duniaku. Bukankah ini luar biasa, yang selalu termaktub dan terpahat dengan kuat dan dalam benakku. Oh,…. Tuhanku yang agung dan hidup, hatiku yang lemah dan tidak berdaya, betapa tak berdayanya aku berjalan menyusuri jalan panjang dari Betelehm ke Nasaret. Betlehemku yang telah lama kutinggalkan, tetapi masih tersisa dalam benak dan bayanganku yang sulit terlupakan. Betelehem tempat awal kehadiranku yang menyejarah dalam planet bumi ini.

Tapi , bagaimana pun hatiku tahu, sadar meski kesadaranku bagaikan kerlip lilin saat ditiup angin malam.Kutahu aku akan baik-baik saja.Aku tahu kepada siapa aku harus percaya.Aku tahu kepada siapa harus kutadahkan tanganku,Aku tahu kepada Siapa aku harus berharap dan aku tahu kepada siapa kukisahkan jeritanku. Sungguh , hanya kepada-Mu.

Tetapi bagaimana Engkau melihat hal ini? Rasa aku tahu tidak sebanding dengan kecilnya kemauanku untuk sungguh bangun dan menarus semuanya pada-Mu. Betapa lambannya hatiku, persis seperti lambannya pikiran dan hati dua murid dalam jalan ke Emaus. Tetapi mau bagaimana lagi, selama matahari masih bersinar untuk orang yang jahat dan baik dan hujan Kauturunkan untuk semua orang, aku tetap berharap, sampai kapan pun aku akan baik-baik saja. *** resume ref,h.martine

Pkp. 15 Okt 2011

Rabu, 05 Oktober 2011

HARAPAN DALAM KETIDAKBERDAYAAN

Sudah enam bulan aku bergulat dengan diriku sendiri. Seolah-olah syarafku memberontak dan menuntut agar aku memperhatikannya. Reaksi yang bukan main menyakitkan sehingga air mata pun mengalir tiada terbendungkan. Raga tak kuasa menahan sakit, bergerak saja susah, ingin rasanya melepaskan apa saja yang menyentuh tubuhku. Reaksi spontan aku memberontak dan bertanya mengapa…… oh mengapa semua ini terjadi?

Kehidupan ini seolah berhenti dan aku sendiri merasa tidak berguna, tidak ada yang mengerti malahan membiarkan, cuek. Segala rencanaku seolah-oleh gagal berantakan karena keadaanku ini.Cukup lama aku tidak dapat menerima kenyataan ini dan seribu satu pertanyaan muncul dalam diriku. Bukannya aku yang harus membantu Kongregasi malahan merepotkan sesama, membutuhkan dana, waktu, tenaga ekstra untuk melayaniku dan sampai kapan?? Inilah yang membuat aku semakin tersiksa karena aku juga masih mau memberi diri dengan tulus hati.

Melalui pengalaman ketidakberdayaan karena sakit ini, Tuhan berkarya dan memampukan aku untuk mendengarkan sabda-Nya. Rencanamu bukan rencana-Ku. Barangsiapa mau menjadi murid-Ku harus memikul salibnya dan mengikuti Aku. Tuhan menyapaku lewat permenungan akan penderitaan-Nya yang luar biasa untuk menyelamatkan aku. Karena cinta-Nya penuh, murni dan tulus untukku. Setelah sekian lama, kesadaran ini membuat aku dengan mantap , tenang, bersujud dan menyerahkan diriku kepada-Nya. Tuhan, perbuatlah pada diriku menurut kehendak-Mu.

Kurenungkan jalan derita Yesus. Yesus sumber kekuatan dibuat tidak berdaya oleh dosa manusia supaya aku yang tidak berdaya ini dikuatkan. Sejak kesadaran ini bertumbuh dalam diriku, aku tidak menangis, tidak berontak ataupun bertanya-tanya lagi. Malahan aku tergerak untuk menyatukan, mempersembahkan deritaku dengan derita Yesus untuk aneka ujud doa maupun silih. Setiap hari kupersembahkan silih untuk segala kekurangan dan dosa serta bersyukur.

Aku sadar selalu ada kesempatan untuk berbagi dalam hidup bersama dalam komunitas maupun masyarakat. Banyak kesempatan membuat aku semakin terdorong dan berani berbuat sesuatu dengan sebaik-baiknya dan tulus hati. Aku boleh merasakan seolah dunia dan segala isinya menjadi begitu dekat dan aku semakin dapat merasakan keprihatinan Bunda Maria menjadi keprihatinanku juga. Kurenungkan pesan-pesan Bunda Maria dalam penampakan-penampakannya menjadi begitu hidup dan menantang aku. Aku yakin berkat doa Bunda Maria, aku mulai lebih mampu menata diri dan masuk dalam diriku agar aku sungguh menjadi seperti yang Tuhan kehendaki.

Pengalaman penderitaanku yang sebelumnya kurasakan tak tertahankan akhirnya menjadi sebuah jalan di mana kuyakini Tuhan mempunyai rencana indah bagiku, bagi setiap orang. Damai-Nya tinggal dalam hatiku, menguatkan dan mendorong aku untuk semakin menjadi seperti Dia, sewaktu hidup-Nya di dunia yakni menjadi seorang manusia yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik. Aku juga yakin berkat dukungan dan perhatian sesama yang setia mendoakan aku, sehingga aku yang tidak berdaya menerima kekuatan dari Sang Sumber Daya Ilahi untuk mengambil bagian dalam hidup ini seturut ukuran pemberian dan rencana-Nya. Aku yakin, melalui semua pengalamanku, Tuhan menunjukan jalan bagiku untuk menemukan harapan hidup dalam Dia yang kutahu sangat mengasihi aku.*** M.Dolorosa