Setiap hari nama kita dipanggil entah oleh ibu kita, oleh teman, oleh sang kekasih, oleh pimpinan di tempat kita berkerja, oleh anak, suami atau istri kita. Kita dipanggil dengan nama kita sendiri, sebuah nama yang telah diberikan oleh ayah ibu, ketika kita hadir di dunia ini. Nama yang tidak kita pilih sendiri, yang sudah dikenakan kepada kita, yang kita dengar setiap hari sejak masih kecil. Sering juga kita dipanggil bukan nama, tetapi dari status kerja kita, sapaan yang berlaku umum dalam masyarakat : bapak, ibu, oom, tante, kakak, abang, adik. Dalam dunia remaja bahkan sudah lazim, menyapa dengan sebutan ”sayang, yang’ darling dan sebagainya. Ketika nama kita dipanggil, kita akan memberikan respon , menoleh, menjawab iya, tersenyum, melambaikan tangan. Selain mengalami pengalaman dipanggil namanya, setiap hari kita juga memanggil nama sesama.
Panggil, memanggil, dipanggil sangat akrab dalam dunia kita setiap hari, yang melibatkan panca indera kita untuk dapat merespon panggilan. Tentu kita tahu, bila nama kita dipanggil pasti ada maksud dan tujuan tertentu, ada perintah tertentu yang hendak disampaikan kepada yang dipanggil untuk dilakukan. Reaksi terhadap panggilan seseorang bisa macam-macam, mendengarkan, melaksanakan. Tetapi ada juga yang pura-pura tidak mendengar, masa bodoh. Ini biasanya dialami oleh seorang anak yang tidak mau mendengarkan ibu ketika dipanggil pada saat ia asyik bermain bersama teman-temannya, apalagi kalau si anak sudah menghapal maksud ibu memanggilnya.
Setiap hari, Tuhan juga memanggil, menyapa kita dengan namanya masing-masing. Seperti pengalaman manusiawi kita, Tuhan memanggil kita juga dengan suatu maksud. Dan respon kita terhadap panggilan Tuhan juga persis dalam pengalaman harian, ada yang menanggapi, ada yang masa bodoh, mungkin juga ada yang tidak mendengar dan beragam reaksi lainnya. Meski mirip dengan pengalaman manusiawi kita, panggilan Tuhan ”nyaris tidak terdengar” karena kita tidak langsung mendengarkan ”suara Tuhan ” dengan kuping kita. Panggilan Tuhan, hanya dapat didengar dengan ” telinga hati” melalui gerakan batin yang merasa mendengar, merasa melihat, merasa disuruh atau diperintahkan.
Kita sering mendengar orang mengatakan demikian : ’ ketika saya mendengar tangisan suara bayi, saya tersentuh untuk mendekat ternyata ada seorang bayi yang di buang,....” Ketika saya melintas di perempatan jalan, saya melihat seorang anak penjual koran sedang dikroyok preman, saya terdorong untuk membantu anak itu,... Ketika mendengarkan cerita kesulitan sebuah keluarga, saya tertarik untuk menolong menyekolahkan anaknya.... Ketika saya mendengar kotbah pastor di gereja bahwa andalah generasi penerus gereja, saya merasa pastor menunjuk saya dan saya terdorong untuk menjadi imam. Ketika melihat tayangan film Mother Teresa di tengah kaum miskin di India, saya tertarik untuk mengikuti jejaknya, berkarya di tengah orang miskin. Ketika membaca proposal pembangunan sekolah di pelosok ini, saya tertarik untuk menyumbangkan dana. Dengan melihat, mendengar, membaca, bahkan mengalami sendiri, seseorang merasa terdorong, tertarik, tersentuh untuk melakukan sesuatu sesuai dengan gerakan hatinya. Orang dapat mengatakan dipanggil oleh Tuhan, untuk melakukan hal ini, untuk mengikuti jalan itu, untuk bergabung dengan kelompok ini, atau untuk masuk Kongregasi itu.
Misteri Panggilan
Banyak pengalaman yang dapat dikisahkan untuk membuktikan seseorang merasa dipanggil Tuhan untuk suatu tugas perutusan tertentu dan sebagaimana kita akui, setiap orang memiliki pengalaman yang unik bagaimana cara Tuhan menyapanya. Tidak seorang pun dapat mengklaim nilai kebenarannya, karena ini sangat spesifik dan unik, antara seseorang dengan Tuhan sendiri. Kita mengakui, apapun yang mendasari karya atau usaha kita, adalah rencana , kehendak ALLAH sendiri. Sebagai orang beriman, sangat tepat seperti diakui, ”ini adalah rencana Tuhan bagiku, aku menerimanya dengan tangan terbuka, penuh kebebasan, dan kujalani hidup ini sebisa mungkin sesuai dengan maksud Tuhan bagiku.
Panggilan Tuhan adalah sebuah misteri, yang sekaligus mengandalkan iman. Tuhan mewahyukan diri-Nya sebagai Allah yang sangat dekat dengan manusia, yang karya-Nya dapat dilihat; yang kebaikan-Nya sungguh dialami. Allah yang menjawab doa-doa, Allah yang menguatkan, meneguhkan, memberi harapan dan hidup. Dari pengalaman pribadi akan penyertaan Tuhan, seseorang dapat semakin beriman dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
Tidak sedikit sejak dulu sampai kini, banyak pria dan wanita yang menyerahkan diri kepada Tuhan, berani hidup menderita, susah, bahkan mengalami penganiayaan yang hebat sampai wafat demi kepercayaan dan imannya akan Tuhan. Bagi orang yang tidak beriman, tindakan itu adalah sebuah kebodohan, tetapi bagi seseorang yang beriman, yang menemukan dan mencintai Tuhan, itulah bukti nyata cintanya kepada Tuhan. Sampai hari ini, masih banyak pemuda- pemudi yang memilih hidup menyepi dari dunia ramai, yang berani mengesampingkan bahkan meninggalkan segalanya untuk mengikuti Tuhan yang diimani. Orang-orang seperti ini, merasa mendengar namanya dipanggil Tuhan untuk mengalami hidup dalam hadirat Tuhan. Orang – orang seperti ini mengalami suatu gerak batin dan menyakini secara penuh bahwa Tuhan memanggilnya, meski orang lain tidak yakin atau meragukannya.
Prakarsa Allah
Menjawab tawaran sapaan dan panggilan Tuhan sampai hari ini tetap misteri, karena memang Tuhan yang memanggil tetap merupakan misteri. Dia Allah yang transenden sekaligus imanen, Allah yang mahakuasa, jauh dan dahsyat, sekaligus yang dapat dirasakan sangat dekat dengan kehidupan manusia. Misteri panggilan tidak dapat dipecahkan secara manusiawi, cukup untuk diimani, bahwa sejak awal dalam banyak hal kita hanya mampu termangu di hadapan kuasa kasih Tuhan yang sanggup melakukan segalanya. Tidak heran, ada orang-orang yang menurut ukuran manusiawi, biasa-biasa saja, tetapi mereka dipanggil Tuhan. Dipanggil dan diutus untuk melakukan karya-karya Tuhan bagi umat manusia, menjadi rekan kerja Tuhan untuk menyelamatkan dunia.
Tuhan yang penuh kuasa, bebas melakukan apa yang dikehendaki-Nya dengan sangat baik. Kadang di luar batas pengertian manusia. Kita sering mendengar orang berkomentar, cantik-cantik kok mau saja jadi suster atau komentar lain, ”sayang sekali yach, cowok itu, tidak hanya cakep, tapi juga cerdas dan beriman, kok mau-maunya jadi imam, bukankah pria seperti itu bisa sangat sukses” . Ada berbagai komentar lainnya yang kita dengar dalam kehidupan sehari-hari terhadap orang-orang yang menanggapi panggilan Allah dengan memilih hidup sebagai imam atau biarawan-biarawati.
Tentu, tidak penting komentar orang terhadap keberadaan dan cara hidup kaum berjubah, yang terpenting adalah orang-orang yang merasa terpanggil ini dan telah menjawab panggilan Tuhan dengan cara hidup seperti ini sadar sepenuhnya bahwa Tuhan sendiri yang telah mengambil prakarsa atau inisiatif sejak semula untuk memilihnya menjadi bentara warta sukacita Tuhan. Menjadi imam atau biarawati adalah ’gawe” kerjanya Tuhan. Tuhan yang mengatur dan memilih, dan ketika mendapati orang-orang itu terbuka hati untuk menjawab panggilan-Nya, terjadilah tawaran Tuhan tidak sia-sia. Bahkan kita mengimani , kalau Tuhan sudah mau dengan seseorang, sedetik pun Tuhan tidak akan berpaling dan dengan segala cara pasti akan terjadi.
St.Paulus rasul ulung Tuhan, penganiaya jemaat, dengan bebas ’ditangkap” dan dipanggil Tuhan untuk jadi bentara sabda-Nya yang sangat luar biasa. Pengalaman nabi Yunus, yang diutus Tuhan untuk menyampaikan warta tobat bagi orang Ninive pada akhirnya terlaksan, meski awalnya Yunus mencoba melarikan diri. Dan banyak orang kudus yang mengalami hal serupa, ditangkap oleh Tuhan, dipersiapkan Tuhan untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Maka bila Tuhan yang mengambil inisiatif, yang memperkarsai kehidupan manusia, kita mau apa lagi? Tidak ada yang lebih, selain siap sedia menjawab’ ya” kepada Tuhan.
Namun dari pengalaman, banyak orang memilih menggunakan kehendak bebasnya dengan menjawab ’tidak’ kepada Tuhan. Meski batinnya tergugah, hatinya tertarik, bahkan jalannya lebar untuk menuju ke sana, tetapi bila pilihan jawabannya adalah tidak, maka Tuhan juga sangat menghargai pilihan manusia ini. Sabda Tuhan, meneguhkan kita : ” banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih”.
Dipanggil untuk diutus
Seperti pengalaman manusiawi kita, setiap panggilan memiliki tujuan, demikian Tuhan memanggil seseorang dengan maksud pertama-tama untuk hidup bersama-Nya dalam hadiratNya. Dengan hidup bersama Tuhan, seseorang bisa melihat dan mengalami Tuhan secara pribadi, bagaimana Tuhan ’bertindak” dalam hidup ini. Yesus sang Sabda, setelah sekian lama hidup di Nasaret, saat tampil di depan umum memanggil murid-murid-Nya untuk menyertai-Nya ke manapun Dia pergi dan di manapun Dia berada. Kepada para rasul yang amat dekat dekat-Nya, sering dengan cara berbeda Dia menyampaikan apa yang tidak disampaikan kepada orang banyak dalam pewartaan-Nya. Para rasul selama 3 tahun tinggal bersama Yesus, diperkenankan mengalami sendiri bagaimana pola hidup-Nya, cara berpikir, cara bertutur, cara mengajar, cara menghadapi orang banyak, cara mengatasi kesulitan. Pengalaman hidup bersama Yesus inilah yang lebih memiliki muatan yang luar biasa dibandingkan dengan hanya sekadar membaca cerita atau menyaksikan dari jauh. Kekuatan pengalaman jauh lebih berarti daripada yang lainnya. Karena itu, mengapa penting bagi seseorang yang terpanggil untuk sungguh mengalami sendiri hidup dekat dengan Tuhan.
Selain untuk hidup bersama Tuhan, seseorang yang dipanggil, diutus untuk menjadi bentara sabda Tuhan. Ini mengandaikan, orang yang telah bersedia hidup bersama Tuhan, mengenal Tuhan, semakin menyelami kehendak Tuhan sehingga siap diutus. Tugas perutusan sebenarnya tidaklah sulit, karena yang diwartakan adalah apa yang dilihat dan dialaminya dari kekayaan kasih Tuhan yang tak terselami dan tidak terbatas. Cinta Tuhan yang dialami , diwartakan kepada sesama, sehingga orang lain yang melihat perbuatannya yang baik ikutserta memuliakan nama Tuhan.
Perutusan menjadi sulit dan tidak jarang tidak sesuai tujuan, bila seseorang yang terpanggil ’lupa’ atau lebih parah ’ tidak tahu apa yang mau diwartakan atau bagaimana cara mewartakannya”. Perutusan menjadi sulit, bila seorang yang terpanggil secara pribadi tidak hidup bersama Tuhan, relasi pribadi dengan Tuhan yang memanggil dan mengutusnya renggang atau bahkan jauh sama sekali. Bagaimana bisa mengenal kehendak Tuhan, bila tidak bergaul dekat dengan Tuhan dalam doa dan sabda-Nya, serta diperkuat oleh sakramen-sakramen. Bagaimana bisa menjadi seorang utusan yang efektif bila tidak paham tugas perutusannya?
Tuhan tidak pernah berhenti memanggil
Menyadari semua itu, kita semua yang menamakan diri sebagai orang yang terpanggil untuk mengenal Tuhan, yang diutus Tuhan, sepantasnya tahu bagaimana cara menghidupi panggilan Tuhan dalam realita sehari-hari. Tuhan tidak pernah berhenti memanggil. Tuhan tidak pernah berhenti mengutus. Tuhan tidak pernah berhenti menanti kepulangan orang-orang utusan-Nya yang menyeleweng untuk bertobat dan melakukan yang benar. Tuhan tidak pernah berhenti menghujankan rahmat-Nya bagi kaum pilihan-Nya yang siang malam melakukan kehendak-Nya. Tuhan tidak pernah berhenti berharap, akan semakin banyak putra-putri yang terberkati menjawab ’Ya” atas tawaran-Nya menjadi bentara kasih dan sukacita-Nya. Tuhan tidak pernah berhenti mencintai setiap orang, entah kita menjawab ’ya atau tidak’ terhadap tawaran-Nya. Tuhan juga tidak pernah berhenti berharap kita semua setia untuk menjawab undangannya. Bila Tuhan yang berinisiatif, Dia yang Mahakuasa dan besar, sudah sedemikian berusaha, mau apalagi kita manusia lemah dan fana ini? Satu undangan khusus dari Tuhan bagi kita semua yang terpanggil, selalu mau pulang kembali ke hadirat Tuhan, menghidupi panggilan-Nya secara wajar, benar, penuh cinta dan bhakti yang besar terhadap DIA yang telah memilih dan memanggil kita. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar