Selasa, 05 April 2011

ANTARA AKU DAN AYAH

Aku terlahir sebagai anak sulung dari ayahku seorang guru tamatan SGB dan mamaku jebolan sekolah dasar. Ketika aku lahir ayahku berusia 39 tahun dan mama 21 tahun. Kehadiranku dikehendaki, didambakan dan dinantikan oleh orang tua dan semua keluarga. Ayahku memberi nama bagus padaku, Kurnia, sebuah nama yang mengandung makna anak kurnia Tuhan. Ayah berharap dengan nama itu, aku menjadi anak yang membawa berkat , karunia bagi keluarga dan orang lain.
Aku mengalami masa kecil yang bahagia, disayang oleh semua keluarga. Kebutuhanku terpenuhi. Apa yang aku kehendaki dituruti. Sejak tahu membaca, buku-buku perpustakaan memenuhi rumah dan setiap hari aku melahap buku-buku itu. Ayahku seorang yang rajin berdoa, bersahabat dengan para misionaris, seorang legioner aktif pada masa mudanya dan menyukai hal-hal rohani. Tak kurang di rumah kami, ada majalah HIDUP, banyak buku rohani anak-anak yang tersedia dan selalu ayah tuliskan pada lembaran pertama: “Anak-anakku, bacalah buku ini.” Di bawah tulisan, ayah membubuhi parafnya dan tanggal pembelian buku.
Sejak kelas III SD, aku sudah disertakan dalam kelompok Doa Kerasulan Maria Fatima, yang harus rajin berdoa rosario,misa dan membaca Kitab Suci. Aku dididik pada sekolah yang bermutu, dengan frater sebagai kepala sekolah dan staf pengajar. Sekolah yang mempunyai kurikulum budi pekerti, yang ada ziarah dan wisata rohani, rekoleksi dan retret tahunan yang teratur, yang memanfaatkan bulan Kitab Suci Nasional dengan baik, diperkaya dengan novena dan beragam hal rohani lainnya. Meski biaya sekolah sangat mahal untuk ukuran ayahku. Demi kenyamanan dan kesuksesan belajar, sejak kelas I SMP aku sudah dititipkan di asrama agar bisa mandiri dan belajar teratur.
Aku bersyukur mendapatkan semua yang kuperlu pada masa kecilku dari kebijaksanaan seorang ayah yang bertanggung jawab. Namun satu saja yang tidak kuperoleh sejak masa kecilku dari ayah, yakni kehadiran dan sentuhan fisik ayah terhadap anak. Sejak aku lahir, ayahku mengajar di pelosok, jauh dari rumah kami di kota. Sekali atau dua kali dalam bulan, ayah baru mengunjungi kami.
Sampai aku hampir tamat SD, ayahku baru mengajar di sekolah dekat rumahku. Aku bisa mengalami hidup bersama ayah. Selama 10 tahun usiaku, ayah tidak mengikuti perkembangan emosional diriku. Yang ayah tahu, aku sudah makin besar, suka menyanyi, sering ikut perlombaan di sekolah, nilai rapor selalu bagus, rajin ke gereja,pandai memimpin doa Rosario dan anak penurut di rumah. Hanya satu tahun dalam seumur hidupku, aku hidup bersama ayah, sesudahnya aku tinggal di asrama yang waktu liburan baru pulang ke rumah.
Hidup tanpa kehadiran ayah sejak masa kecil, berpengaruh besar pada watak, perangai, tingkah laku terutama emosional afeksiku. Aku berkembang menjadi anak yang kurang menaruh respek pada ayah. Jarang sekali aku turut nasihat ayah.Aku lebih mudah meniru apa yang ditulis dari buku yang dibeli ayah daripada petuah ayah. Jarak hati antara aku dan ayah bagaikan sejauh timur dari barat. Aku sayang ayahku, benar-benar sayang. Tetapi tidak tahu bagaimana cara menyayangi ayahku dengan tindakan nyata. Kalau ayahku sakit, kekuatiranku tak sebesar seperti kalau mama sakit. Semuanya biasa-biasa saja. Bahkan dalam banyak hal saat mengalami kesulitan saat ini, aku kerap mempersalahkan ayahku dan berdalih bahwa ketidakhadiran pada masa emas diriku waktu kanak-kanak mempengaruhi emosional masa dewasaku.
Memang kutahu dari pengolahan hidup dan buku psikologi perkembangan yang kubaca. Pengaruh pendidikan masa kecil, kehadiran orang tua, suasana rumah dan keluarga, budaya dan masyarakat membentuk watak, kepribadian seseorang. Baik dan buruk,mudah sukarnya, sudah tertanam sejak masa kecil. Aku ditolong oleh pembimbing untuk menerima realita kasih ayah waktu masa kecil dan belajar memahami kesulitannya yang berhadapan dengan dilema antara pekerjaan untuk nafkah keluarga atau berada di rumah bersama anak-anak tetapi kehilangan pekerjaan. Aku diajak untuk mengampuni ketidaktahuan dan keterbatasan ayah sebagai seorang manusia lemah.Karena hanya pengampunan, penerimaan akan membebaskan aku dari perasaan terbelenggu oleh rasa defisit afeksi, merasa tidak penuh dan utuh sebagai anak dan kurang kasih sayang ayah pada masa aku sangat membutuhkannya.Pengampunan merupakan jalan pembebasan dan penyembuhan bagiku.
Meski relasi antara aku dan ayah, seperti relasiku dengan tetangga hatiku mengasihinya.Tapi, sayang sekali aku tidak tahu bagaimana mewujudkan rasa kasih itu. Cukup sulit dan terasa janggal bagiku untuk bercakap-cakap dengan ayah. Hatiku jauh dari ayah, meski siang malam aku selalu berdoa untuk kesehatan dan keselamatannya. Meski tampangku cuek bebek pada ayah, tapi ayahku benar-benar harapan dan sandaranku.

Ayah sangat mencintai aku, mempersembahkan aku pada Tuhan, memohonkan semua yang terbaik bagiku. Ketika mendengar aku sakit, ayah berani berdoa dan membuat penawaran dengan Tuhan. Kalau Tuhan mau ambil, jangan aku anaknya yang masih muda ini, tapi ayah saja.
Dua kali setahun aku baru menghubungi ayah via telepon untuk mengucapkan selamat Natal dan Paskah.Kuakui sebesar apapun usaha ayahku untuk dekat di hatiku, ternyata sudah tak teraih lagi. Satu hal yang memberiku hiburan. Secara rohani aku berusaha sedekat mungkin dengan ayah pada usia tuanya ini.Kukisahkan suka dukaku dalam pelayanan. Beberapa waktu lalu ayah menceritakan kegiatan rutinnya. Ayah selalu berdoa Rosario dua misteri, sebelum Misa pagi. Dua misterinya didoakan sore hari. Ketika kutanya, kapan berdoa untukku? Ayah menjawab:” Ayah sudah banyak berdoa untukmu, satu hari dua kali Rosario untukmu.Peristiwa gembira keempat Yesus dipersembahkan ke Bait Allah, supaya persembahan dirimu penuh.Dan peristiwa mulia ketiga Roh Kudus turun atas para rasul supaya kamu dengan bantuan Roh Kudus, selalu bijaksana dalam melayani Tuhan.Ini sudah istimewa, sebab semua anak yang lain dapat doa ayah hanya satu kali, untukmu dua kali. Ayah tahu, hidup sepertimu sangat butuh dukungan doa. Sebab kamu hidup dan berkarya bukan untuk ayah dan ibu tapi untuk Tuhan.”
Mendengar aku didoakan lebih dari anak lain, hatiku sangat terharu. Ayah mencintai aku dengan segala cara, meski hatiku jauh darinya.Ayahku tidak pernah menuntut aku harus menghormati, menghargainya sebagai ayah. Ayahku menerima resiko kenyataan anaknya tidak hanya jauh dari pandangannya tetapi jauh dari hatinya. Sejak kecil ayahku belum pernah meminta apapun dari aku dan aku belum pernah terdorong untuk memberi apapun untuk membahagiakan ayah. Ayahku menerima penyakit di masa tua sebagai salib hidupnya. Kerinduan ayah hanya satu, panjang umur supaya masih bisa bertemu aku, melihatku berpakaian suster dan sekali boleh berpose bersama ayah untuk diabadikan.
Aku tahu ayah membanggakan aku, salah satu dari anaknya dipilih Tuhan jadi abdi-Nya. Ayah tahu diam-diam aku membanggakannya sebagai ayah yang kuat dan bertanggungjawab. Meski kami tidak tahu cara untuk mengungkapkan rasa hati , hatiku dan hati ayah tahu, kami saling mencintai.Aku sadar, tak bisa membalas kasih ayah tapi aku punya hadiah terindah, doa yang tiada putus untuk ayah, hidup sebagai abdi Allah yang setia untuk membahagiakan ayah sebab itu kerinduannya.**hm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar