Senin, 30 November 2009

ACCEPTING WITHOUT JUDGING



Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menginap di rumah sebuah keluarga dua hari. Sebuah keluarga yang belum lama kukenal, karena nyasar dan ingin menimba banyak pengalaman aku memutuskan untuk menginap di rumah keluarga meski ada banyak komunitas biara di sekitar daerah itu.

Kehadiranku dalam keluarga itu diterima dengan sangat baik. Sebagimana yang terjadi di mana-mana, seorang pastor atau suster yang menginap di rumah keluarga dilayani dengan luar biasa. Saya diajak ke mall untuk shopping, diajak makan dan ditawari mau ke mana saja sepanjang hari, mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Sebenarnya saya sangat lelah dan ingin relaks karena sebelumnya ada kegiatan yang padat, tapi demi persahabatan dan menghargai maksud baik tuan rumah yang telah menerimaku dengan baik, aku turuti juga mau dibawa ke mana saja.Cuma sayang sekali, dasarnya saya tidak hobi ke mall dan tidak pernah makan-makan di luar jadinya pening dan mual-mual dalam perjalanan. Saya tidak bisa menikmati perjalanan seperti itu, namun enggan mengatakannya kepada si tuan rumah, tidak enak. Melihat keadaanku yang setengah ngantuk dalam perjalanan si ibu bertanya, : suster mau jalan-jalan ke mana?” Sederetan tempat rekreasi dan mall disebut. Karena ditanya , maka dengan berani dan sopan kukatakan : “ kalau boleh pulang ke rumah saja, aku lelah dan tidak begitu hobi jalan-jalan.” Mereka sangat menghargai pilihanku, kami pulang dan makan di rumah, tidak jadi jalan-jalan. Si Ibu pun mulai bercerita bahwa sebenarnya mereka sekeluarga juga tidak punya kebiasaan shoping dan jalan-jalan yang menghabiskan banyak waktu. Suami dan anak-anaknya sangat betah di rumah. Syukur, gumamku dalam hati,berarti aku tak menolak niat baik mereka, kami sama-sama tidak hobi.

Menarik pengalamanku dua hari di rumah keluarga ini. Kusaksikan sejak jam 3.00 dini hari sang ibu yang memang ibu rumah tangga sudah bangun menyiapkan sarapan, membuat kue pesanan orang, mencuci baju dan membereskan rumah. Ketika aku bangun sekitar pukul 04.30 semua sudah beres. Dan kulihat, sepanjang hari ibu yang tidak banyak bicara ini dengan tenang ini melakukan sendiri semua tugas dan pekerjaannya. Kalau aku mau membantu meski cuma pindahkan piring dari meja makan ke dapur , tidak diperbolehkan. Jadilah aku seperti ratu di rumah itu. Aku dan si Ibu makan berdua, suami dan anak-anaknya makan sendiri seperti kebiasaan mereka sehari-hari, tidak biasa makan bersama.Siapa yang lapar, ambil makan. Kesempatan makan inilah, kami banyak bercerita. Tentu berhadapan dengan si ibu yang sangat kalem dan pendiam ini saya yang tukang ngerocos melancarkan sejumlah pertanyaan. Dari kisah-kisah kami berdua aku mendapatkan sedikit gambaran tentang keluarga.

Pernikahan Ibu ini termasuk pernikahan beda gereja. Suaminya seorang Kristen Pantekosta. Meski sejak awal sebelum pernikahan sudah ada perjanjian anak-anak dibaptis secara katolik ternyata dalam perjalanan waktu, sang suami tidak mengijinkan. Ketiga anaknya semua ikut ayahnya Kristen Pantekosta sejak kecil. Ketika kutanya, mengapa Ibu tidak mempertahankan minimal satu anak untuk ikut Ibu masuk katolik? Si Ibu dengan senyum khasnya mengatakan “ Bagi saya, tidak apa-apa suster, papanya mau demikian. Di Kristen juga tidak apa-apa asal mereka jadi anak baik. Dan memang kenyataannya mereka sanagt aktif di gerejanya. Saya hanya mau semuanya baik-baik saja, sampai kapan pun dan keluarga kami aman dan damai.” Mendengar ungkapan si Ibu, aku sedikit tersipu malu dan Cuma bisa mengangguk-angguk. Ibu yang kulihat sepintas pendiam ini menyimpan banyak prinsip hidup yang baik.Katanya melanjutkan : “ Hidup keluarga gampang-gampang susah, Suster. Mesti ada yang mau mengalah demi kebaikan bersama. “ Kalau, hidup seperti suster, memang mulia, lebih enak”. Dengan sedikit malu, aku katakan : “ Tidak juga, Bu. Hidup dalam keluarga dan hidup di biara, sama-sama harus berjuang. Kalau tidak ada yang mau mengalah, juga hidup komunitas hampir tidak mungkin. “ Sharing kami menjadi semakin seru dan panjang lebar. “ Kulihat Ibu bangun pagi sekali dan tidur sudah larut malam, sendirian melakukan tugas rumah tangga. Meski anak-anak sudah besar , tak ada yang mau membantu meski mencuci piring atau menyapu. Ibu, tentu lelah dan kurang beristirahat.” Jawabannya tulus : “sudah biasa seperti itu sejak menikah, meski dulu kupikir tidak bisa. Yach…. terbiasa, lelah juga tetapi saya merasa tidak terbeban. Ibu rumah tangga, memang begitu”. Saya Cuma bisa memandangnya penuh kasih dan kutatap sorot mata si Ibu yang memang tulus. “Pantasan anak-anak dan papanya sangat betah di rumah, karena Ibu sangat pandai menciptakan suasana rumah yang bagus, kerja sendirian dengan tenang, ibu berpembawaan tenang sehingga seisi rumah juga nyaman dan tenang” kataku dengan maksud meneguhkannya. Jawabnya : “ yach… saya juga tidak bisa buat banyak, Cuma ini-ini saja, juga tidak tahu banyak sejak dulu, tidak bisa melawan dan berbicara banyak. Menerima dan melakukan apa yang bisa saya lakukan. Tiap-tiap hari saya belajar mengenal kemauan mereka supaya bisa melayani mereka. Itu saja , suster. Tidak lebih, tidak pintar.”

Pernyataannya benar-benar, menggetarkan perasaanku. Persis kumerasakan inilah rahasia ketenangan si Ibu dan kenyamanan dalam rumah itu. Ibu selalu belajar… dan belajar terus mengenal kemauan anak-anak dan suaminya untuk bisa melayani mereka. Bagiku, peryataan ibu ini menginspirasiku. MENERIMA, BELAJAR terus-menerus mengenal kemauan mereka, kebutuhan mereka supaya bisa melayani mereka.

Aku ingat, beberapa hari sebelumnya aku mengikuti retret.Pastor pendamping retret dalam setiap konferensi selalu menyebut kalimat ini “ accepting without judging”. Retret dengan tema “menghayati penderitaan Kristus” yang di dalamnya banyak merenung kisah yesus yang menerima tugas perutusan Bapa dengan konsekuensi sampai wafat di salib. Kata MENERIMA menjadi kata favorit yang diulang-ulang, yang terekam dalam ingatanku, yang pada saat itu, kurasakan contoh konkret dari pengalaman hidup si Ibu. Tentu, Ibu bercerita tanpa maksud apa-apa umumnya Cuma menjawab pertanyaanku dan sekadar mengakrabkan hubungan kami.

Namun, bagiku setiap kisah pengalaman hidupnya, apa yang kusaksikan dan kudengar lebih merupakan sebuah berkat tersendiri bagiku. Tuhan melengkapkan apa yang tidak kutemukan dalam permenungan waktu retret.

Sesudahnya aku banyak merenung bagaimana hubunganku dengan pasanganku yang dianugerahkan Tuhan padanya, yang kulayani setiap hari dalam tugas perutusanku. Betapa lebih banyak menghabiskan energy percuma karena ketidakmampuanku untuk mudah menerima. Menerima realita yang tidak sesuai dengan selera, ide, pikiran dan harapanku. Menerima orang-orang yang berbeda denganku, yang lamban, yang salah langkah, yang sagak bodoh, yang macam-macam singkatnya yang tidak kusukai. Dalam banyak hal aku cenderung complain yang akhirnya menambah ketegangan, menciptakan penyakit bagi diri sendiri. Pengalaman hidup si Ibu menggugah nuraniku dan merupakan penyingkapan dari Tuhan untukku : Menerima dan belajar terus-menerus setiap hari untuk mengenal kebutuhan dan kemauan mereka supaya bisa melayani mereka.

Pangkalpinang, Tues, 28 Agust 2009. 22.30 wib dari resume refleksi h martine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar