Senin, 30 November 2009

Bulan lalu aku berkesempatan menemui temanku seorang suster.Kami pernah berjumpa dan bersahabat 7 tahun yang lalu dalam Kursus Persiapan Kaul Kekal di Roncalli-Salatiga. Dia sabahat baikku, yang sangat mengerti aku. Waktu itu, setiap hari kami selalu berdoa bersama di gua Maria. Dia sangat setia menungguku untuk berdoa. Orangnya sangat sederhan bersahabat dengannya dan merasakan ketenangan dekat dengannya.Umurnya tidak terlalu jauh dariku, meski lebih tua sedikit. Pembawaannya yang sederhana dan tenang menginspirasiku waktu itu.
Nampaknya aku merindukan pribadi dan kepribadian yang seperti itu. Mungkin karena aku tidak memilikinya. Bawaanku yang keracak, suka berbicara dan ribut, tertawa keras-keras tanpa santun a, tenang, bersahaja. Aku tertarik dengan tetangga bahkan terkesan over acting. Yach… aku sendiri tidak begitu paham dengan diriku sendiri. Rasanya seperti itulah dan aku enjoy dengan diriku.Namun di sisi lain ada riakan gelombang hatiku yang menandakan adanya kerinduan akan ketenangan yang penuh pengertian, ketenangan yang “berisi” yang kata orang, tidak bisa dibuat-buat, tidak bisa dibeli, tetapi dianugerahi dan bisa dilatih.
Kekagumanku pada kepribadiannya, berhenti sampai di situ. Setelah Kursus selesai, semuanya juga berakhir. Tidak ada kontak sama sekali, tidak ada kabar berita. Tidak ada kesan. Sampai aku bertemu dengannya sebulan lalu, suatu pertemuan yang sengaja diatur , karena aku ingin berjumpa dengan teman-teman yang pernah kukenal. Benar saja, dugaku. Dia masih seperti yang dulu. Penuh senyum hangat merangkul dan memelukku sambil berkomentar, “ wah.. kamu agak gemuk” Pertemuan kami layaknya pertemuan Maria dan Elisabeth… ada sukacita yang mengalir di dalamnya. Sejenak bernostalgia lalu kucoba menanyakan tugas dan pelayanannya. Dari dulu sama, dia melayani di dapur rumah sakit dengan lebih dari 50 karyawan dapur, menangani makanan pasien 400 orang setiap hari.
Kuamati dapur rumah sakit yang luas dan penuh barang dengan orang-orang yang sedang bekerja. Aku terkagum-kagum, semuanya rapi, teratur, tersusun, terjadwal. Dia menunjukkan jalan dan anak-anak tangga yang dilewatinya setiap hari dari rumah ke dapur rumah sakit sambil berseloroh “ nich … lihat, lantai ubin yang timbul-timbul jadi licin seperti ini karena selalu dipijak kakiku.”Kucoba bertanya : “ Apakah tidak bosan? Selama bertahun-tahun di ruangan yang sama, dengan jalan yang sama, menghadapi orang-orang yang sama?” Dengan tersenyum ia menatapku dan menjawab : “ Nda lah, nda bosan. Wong ini sudah jadi pelayananku dan bagian dari hidupku. Diterima dan dijalani saja, tiap-tiap hari…Tahu-tahu sudah lewat sehari… seminggu, sebulan… setahun.. terus menerus begitu. Kalau tidak diterima dan dihitung-hitung wach.. susah. “
Kataku dalam batin : “wach … hebat orang ini. Benar dugaku, kesederhanaannya tidak berubah. Malah makin mendalam. Ketika orang-orang masa kini mulai memilih pelayanan yang “bisa dilihat, dikagumi orang lain” temanku tidak berpikir untuk menonjolkan diri. Diterima dan dijalani saja apa yang sudah ditentukan baginya sebagai sebuah panggilan jiwa.” Kalau aku, aduh.. benar ngga sanggup, sehari ngga melihat matahari rasanya kacau hati. Sehari tidak berjalan-jalan rasanya kaki pegal. Orang ini, begitu setia dan tekun dalam pekerjaannya yang tidak nampak dan tidak ringan itu. Memasak makanan di dapur bagi pasien… bukan perkara gampang, seringkali banyak yang komplein, itu kisahnya. Tetapi , dia cuma senyum-senyum saja ketika kutanya, kalau dikomplein bagaimana? Yach… diterima… dievaluasi lalu dibuat sesuai selera mereka, dilayani lebih baik lagi. “waduh.. kali ini batinku teriris-iris,bukan karena panasnya dapur dengan aroma masakan dan kue yang membuat perutku berontak, tetapi aku teringat kalimat indah yang selalu disebut pastor pendamping saat retret yang satu ini, bahkan tidak sempat yang baru selesai kuikuti. Kalimat yang sama yang selalu diungkapkan “accepting without judging” menerima tanpa komplein, tanpa memberontak, tanpa menghakimi.Dalam suasana retret kulumat-lumatkan kalimat indah itu seperti baru pernah mendengarnya dan kucatat dalam memori otakku, tetapi di sini, di dapur rumah sakit itu, aku menemukan SAKSI HIDUP yang telah menghidupi kalimat indah itu. Aku merasa sangat kecil dan kalah … sebab ketika aku baru berniat menghidupi ada orang yang sudah lama sekali memilikinya.
Permenunganku semakin panjang dan dalam. Kulihat dalam benakku kenyataan hidupku yang begitu penuh pemberontakan dan penolakan, yang telah membuat hatiku sendiri tidak tenang dan menjadikanku memikul cap “pemarah” atau “pemberontak”.Betapa telah banyak waktu hidupku terbuang lebih dari 36 tahun hanya untuk hal-hal sepele karena ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk MENERIMA. Menerima apa saja tanpa menghakimi.
Tuhanku yang hebat dan pemurah telah mempertemukanku dengan temanku itu, untuk menunjukkan padaku borok-borok bernanah dalam diriku.Sekaligus menunjukkan bahwa kerinduanku untuk tenang , diam, sederhana, sebenarnya memiliki satu kunci utama “ hening dan menerima tanpa menghakimi.”Bahwa kerinduanku itu, juga kerinduan Tuhanku, dan bahwa sebenarnya tidak sulit untuk diupayakan asal aku mau. Terima kasih, Tuhan, terima kasih teman buat hidupmu yang menginspirasi diriku.
H.Martine, Tues, 8 sep 2009
Kupersembahkan buat Sr.M. Margrit, FCh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar