Senin, 30 November 2009

RASANYA SEPERTI PULANG KAMPUNG







Hatiku bersorak ria dan jiwaku bersukacita, kalimat indah yang kupinjam dari Magnificat Maria, Bunda Nasaret. Sepanjang hari yang penuh kenangan dan membuka wawasan baru dalam pengalaman hidupku. Sebenarnya aku malu, sungguh malu, saat mendengar komentar seorang ibu muda yang sedang menggendong putranya: “ saya sudah 10 tahun tidak pernah melihat seorang suster. Anak saya tidak tahu, suster itu apa dan bagaimana, Kalau di flores, banyak suster, bisa dijumpai. “ yang lain malah berkisah, selama 29 tahun merantau dari Flores dan menetap di Bangka tidak pernah melihat suster.

Maklum, ini Bangka. Pulau yang kaya dengan timah tetapi miskin suster. Mendengar kata-kata mereka yang meluncur dengan polos, aku malu. Sungguh malu sebab kehadiranku di Bangka sudah lebih 16 tahun, tetapi tidak mengenal satu pun dari saudara-saudariku dari Flores itu. Bahkan lebih memalukan, kampung Air Semut yang kami datangi itu, bahkan baru kudengar. Aku Cuma tahu kampung Air Itam, Air Mesu, Pantai Air Anyer, Air Bara. Air Semut benar-benar luput dari pengetahuan umumku. Memalukan.

Anak-anak keturunan suku Flores perantau yang berdomisili di stasi Air Mesu ( Paroki Koba – Bangka) menonton kami dari jauh. Mereka memperhatikan kami, sepertinya makluk baru yang turun dari langit. Ketika diajak bersalaman, mereka malu dan tunduk. Entah apa perasaan mereka, takut, malu? Yang jelas kupikir, mereka merasa kami makluk asing yang masuk kampung mereka. Untung, orang tuanya yang nota bene asli kelahiran Flores, bisa menyapa kami sebagai suster dan bisa berkomunikasi dengan baik. Untung juga, lama-lama anak-anak itu mau digendong suster, mau menjawab pertanyaan suster, dan mau berakting untuk berpose bersama.

Menyusur daerah ini yang baru pertama kali kudatangi, itu pun kebetulan diajak, sebagai fotografer, aku merasa seperti pulang kampung. Di sepanjang jalan masih banyak pohon-pohon, bahkan ada ladang yang ditanami padi yang menghijau indah dari kejauhan. Rumah-rumah sederhana, dari papan dan pelupu( sebutan di kampung untuk dinding rumah dari bambu cincang), ayam kampung dan anjing kampung yang berkeliaran bebas di halaman, bahkan turut berteduh dekat-dekat tempat kami berkumpul. Jalan beraspal namun bisa dihitung berapa kendaraan yang lewat. Cuma motor yang sekitar sepuluh atau limabelas menit melintas di jalanan. Wajah-wajah yang dibaluti kulit hitam manis, dengan bola mata indah. Untung anak-anak itu sudah basteran, kata ibu mereka dan minum air Bangka, jadi rambutnya lurus atau berombak, jarang yang rambut kriting, seperti punyaku yang menandakan betapa sungguh asli Flores. Bentuk rumah dengan tenda-tenda kecil dari papan di bawah pohon nangka atau mangga untuk tempat magang dan bersenda gurau, … pokoknya semua-semuanya mengingatkan aku akan masa kecil di kampung yang lucu, dengan suasana yang mirip kutemukan di Air Mesu. Belum lagi, aku merasa anak-anak itu wajahnya mirip teman-teman di kampungku, bahkan mirib tetanggaku. Dan seorang Bapak berperawakan kecil itu mengingatkan aku akan bapaku di rumah, yang kini sudah tua. Ah…. Semuanya bagaikan di rumah, di kampung, Apalagi kami disuguhi makanan nasi merah, sup ayam kampung, telur ayam rebus bale tomat, duduk bersila di lantai di atas tikar… wach semuanya seperti di kampung. Sejenak aku lupa, kalau aku berada di Pangkalpinang.

Memalukan, bila perasaan hatiku ini berlebihan, tapi inilah kenyataan sebuah rasa yang hadir dengan bebas saat melihat, mengalami sebuah situasi yang baru. Sampai kini, suasana yang familier dari om-om dan tante di Air semut tertera jelas dalam ingatanku. Tertawa yang renyah dan kencang gaya khas Flores yang menghalau galau di hati masih terngiang jelas di telingaku. Dan terutama kata-kata ibu itu « sudah 10 tahun tidak bertemu suster, dan ajakan mereka agar kami datang lagi… menusuk-nusuk hatiku.

Yach… aku namakan diriku orang bangka, yang sudah mulai menyatu dengan budaya Bangka, tapi itu di kota. Kota pangkalpinang yang telah membentuk aku sekian tahun. Pagar-pagar kokoh biara, dengan gerbang yang terbuka pada jam tertentu, telah membentuk aku nyaris lupa ‘ dari mana aku berasal, di mana sekarang aku berada, dan untuk apa aku ada ?

Aku yang sudah lelah dan menjadi agak risih kalau berjalan kaki.Yang juga sudah tidak tahu naik sepeda seperti dulu saat masih di novisiat. Aku yang sudah tidak tahan kalau duduk bersila di lantai tikar dan mesti kipas-kipas jubah untuk duduk di atas papan. Aku yang merasa nyaman, duduk di atas motor dengan kecepatan tinggi melaju seperti pembalab, yang juga sedang bermimpi duduk di belakang setir mobil seperti mereka-mereka itu. Aku tidak pernah lagi tahu bagaimana caranya menimba air di sumur. Aku yang tidak tahan duduk diam dan tidak bisa bersahabat lagi dengan nyamuk-nyamuk kebun yang berdengung ria seperti dulu. Aku yang pasti tidak tahan lagi berjalan di atas tanah tanpa alas kaki, karena sekian tahun selalu beralas kaki bahkan dilengkapi dengan stoking dan kaos. Aku yang sudah tidak sabar mendengar cerita bapak-bapak dan om tentang anak dan keluarganya, karena sebentar-sebentar meraih handpond dari kantong untuk melihat ada SMS. Aku yang sudah enggan menyapa dan sekadar memeluk anak-anak itu.

Benar-benar… pikiranku menjadi kacau dan sampai terbawa mimpi. Mimpi seolah-olah aku di kampung. Kunjungan ke Air semut telah menghidupkan ingatanku akan akarku di mana aku bertumbuh …. Di kampung.Dan akan menjadi lucu, meski memang pantas aku menerima perubahan dan perkembangan diriku kalau aku sampai aku tidak tahu bagaimana harus menyapa “ orang kampung”.

Teringat olehku dan menjadi pertanyaan besar di kepalaku. Mengapa Yesus hadir di dunia ini dan dibesarkan di kampung Nasaret? Kampung yang tidak terkenal seperti Yerusalem misalnya? Nasaret… oh Nasaret…. Tempat Sang Putra Allah, hidup dan dibesarkan. Yesus tidak pernah lupa Nasaret. Kesederhanaan, kesahajaan, sikap familier dengan anak-anak, dengan pendosa, dengan siapa saja…. Yang dipunyai Yesus itu…. Terbentuk dari alam Nasaret. Yach… Nasaret....

Semestinya aku… yang dari kampung ini kampung yang sudah lebih baik, maju d ari Nasaret jaman dulu, tahu bawa diri, tahu bagaimana menghidupi “KESEDERHANAAN” dalam hidupku. Bagiku yang seorang suster KKS, kesederhanaan bukan Cuma milik mereka-mereka di Air Semut itu…. Tetapi semestinya menjadi milikku, karena itu adalah salah satu butir spiritualitas KKS yang pokok. Kalau sampai aku yang dari kampung, dibesarkan di kampung, tidak tahu bagaimana hidup SEDERHANA, sungguh sebenarnya lebih memalukan dari Cuma sekadar mendengar komentar ibu muda itu yang sudah lebih dari 10 tahun tidak bertemu suster.

Terima kasih Tuhan, buat pengalaman indah ini. Kunjungan keluarga ke Air MEsu, Koba- Bangka Minggu, 29 Nop 2009 bersama Sr. Claudia, Ancilla, Petra dan Luois. Juga saudara yanto dan adik Sofi. Indah karena Tuhan mempertemukan aku dengan DIRINYA dan diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar