Jumat, 01 Oktober 2010

MENERIMA TANPA MENGHAKIMI

 


 

Beberapa bulan lalu aku berkesempatan menemui  temanku seorang suster.Kami pernah berjumpa dan bersahabat 7 tahun yang lalu dalam Kursus Persiapan Kaul Kekal di Roncalli-Salatiga. Dia sabahat baikku, yang sangat mengerti aku. Waktu itu,  setiap hari kami selalu berdoa bersama di gua Maria. Dia sangat setia menungguku untuk berdoa. Orangnya sangat sederhana. aku  merasa tenang dekat dengannya.Umurnya tidak terlalu jauh dariku, meski lebih tua sedikit. Pembawaannya yang sederhana dan tenang menginspirasiku waktu itu.

Nampaknya aku merindukan pribadi dan kepribadian yang seperti itu. Mungkin karena aku tidak memilikinya. Bawaanku yang suka berbicara dan ribut, tertawa keras-keras  tanpa santun, merindukan sesuatu yang tenang, bersahaja. Kekagumanku pada kepribadiannya, berhenti sampai  di situ. Setelah Kursus selesai, semuanya juga berakhir. Tidak ada kontak sama sekali, tidak ada kabar berita.  Sampai aku bertemu dengannya, suatu pertemuan yang sengaja diatur, karena aku ingin berjumpa dengan teman-teman yang pernah kukenal. Benar saja, dugaku. Dia masih seperti yang dulu. Penuh senyum hangat merangkul dan memelukku sambil berkomentar, “ wah.. kamu agak gemuk” Pertemuan kami layaknya pertemuan Maria dan Elisabeth… ada sukacita  yang mengalir di dalamnya. Sejenak bernostalgia lalu kucoba menanyakan tugas  dan pelayanannya.

Dari dulu sama, dia melayani di dapur  rumah sakit dengan lebih dari 50 karyawan dapur, menangani makanan pasien 400 orang setiap hari. Kuamati dapur  rumah sakit yang luas dan penuh barang dengan orang-orang yang sedang bekerja. Aku terkagum-kagum, semuanya rapi, teratur, tersusun, terjadwal. Dia menunjukkan jalan  dan tangga yang dilewatinya setiap hari dari rumah ke dapur rumah sakit sambil berseloroh “ Nich  … lihat, lantai ubin yang timbul-timbul jadi licin seperti ini karena selalu dipijak kakiku.”Kucoba bertanya : “ Apakah tidak bosan? Selama bertahun-tahun di ruangan yang sama, dengan jalan yang sama, menghadapi orang-orang yang sama?” Dengan tersenyum ia menatapku dan menjawab : “ Nda lah, nda bosan. Wong ini sudah jadi pelayananku dan bagian dari hidupku. Diterima dan dijalani saja, tiap-tiap hari…Tahu-tahu sudah lewat sehari… seminggu, sebulan… setahun.. terus menerus begitu. Kalau tidak diterima dan dihitung-hitung wach.. susah. “

Kataku  membatin. Wach  … hebat orang ini. Benar dugaku, kesederhanaannya tidak berubah. Malah makin mendalam. Ketika orang-orang masa kini mulai memilih pelayanan yang bisa dilihat, dikagumi orang lain, kerja kantoran, dengan seabrek alat-alat canggih yang memenuhi menja kerja,  temanku ini  tidak berpikir untuk menonjolkan diri. Diterima dan dijalani saja apa yang sudah ditentukan baginya sebagai sebuah panggilan jiwa. Kalau  aku, aduh.. benar  ngga sanggup, sehari ngga  melihat matahari rasanya  kacau hati. Sehari tidak berjalan-jalan  rasanya kaki pegal. Orang ini, begitu setia dan tekun dalam pekerjaannya yang tidak nampak dan tidak ringan itu.

Memasak makanan di dapur bagi pasien bukan perkara gampang, seringkali banyak yang komplein, itu kisahnya. Tetapi dia cuma senyum-senyum saja ketika kutanya, kalau  dikomplein bagaimana? “Yach… diterima… dievaluasi lalu dibuat sesuai selera mereka, dilayani lebih baik lagi », jawabnya dengan tenang.  Kali  ini batinku teriris-iris,bukan karena panasnya dapur dengan aroma masakan  dan kue yang  membuat perutku berontak, tetapi aku teringat kalimat indah yang selalu disebut pastor pendamping saat yang baru selesai kuikuti. Kalimat yang sama yang selalu diungkapkan “accepting without judging” menerima tanpa komplein, tanpa memberontak, tanpa menghakimi.Dalam suasana retret kulumat-lumatkan kalimat indah itu seperti baru pernah mendengarnya dan kucatat dalam memori otakku, tetapi di sini, di dapur rumah sakit itu, aku menemukan SAKSI  HIDUP yang telah menghidupi kalimat indah itu. Aku merasa sangat kecil dan kalah … sebab ketika aku baru berniat menghidupi saja,  ada orang yang sudah lama sekali memilikinya.

Permenunganku semakin panjang  dan  dalam. Kulihat  dalam benakku kenyataan hidupku yang begitu penuh pemberontakan dan penolakan,   yang telah membuat hatiku sendiri tidak tenang dan  menjadikanku memikul cap pemarah atau pemberontak.Betapa  telah banyak waktu hidupku terbuang lebih dari 36 tahun hanya untuk hal-hal sepele karena ketidakmampuan dan ketidakmauan untuk MENERIMA. Menerima apa saja tanpa menghakimi. Padahal hatiku tahu dan budiku sadar, menerima  adalah kunci ketentraman hidup.

Tuhanku yang hebat dan pemurah telah mempertemukanku dengan temanku itu, untuk menunjukkan padaku borok-borok bernanah dalam diriku.Sekaligus menunjukkan bahwa kerinduanku untuk tenang , diam, sederhana, sebenarnya memiliki satu kunci utama “ hening dan menerima tanpa menghakimi.”Bahwa  kerinduanku itu  juga kerinduan Tuhanku,  bahwa sebenarnya tidak sulit untuk  diupayakan asal aku mau. Terima kasih, Tuhan, terima kasih Teman buat hidupmu yang menginspirasi diriku. ***hm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar